Maryam – Okky Madasari
Paperback, 275 pages
Published February 23, 2012, by Gramedia Pustaka Utama
Rating 4/5
Apakah definisi sesat itu?
Menurut Kamus Bahasa Indonesia online (1) tidak melalui
jalan yang benar, salah jalan; (2) berbuat tidak senonoh; menyimpang dari
kebenaran.
Kata sesat sering disematkan pada orang-orang yang kita
anggap menyalahi aturan secara social dan terutama secara aturan agama. Ketika
seseorang tidak melakukan sesuatu yang dianggap tidak umum dilakukan sebagian
besar orang, maka niscaya ia akan dianggap sesat. Pertanyaannya adalah apakah
yang umum dilakukan sebagian besar orang itu siapa yang menjamin bahwa itu
adalah benar, bukan sesat?
Maryam Hayati, perempuan yang kebetulan terlahir di keluarga
Ahmadiyah, selama hidupnya merasa terkungkung dengan kata sesat yang disematkan
pada dirinya. Bahkan ketika ia berada jauh dari lingkungan Ahmadi pun, bersedia
melepas keyakinannya sejak kecil, ia masih membawa label sesat. Seberapapun
usaha Maryam menunjukkan usaha ‘ketidak sesatannya’, label itu tetap saja
melekat.
Menikah dengan keluarga non Ahmadi, Maryam sadar sepenuhnya
dengan konsekuensinya. Ibu mertua yang tak habis-habisnya menyindir akan jalan
sesatnya, hingga tidak ada kehadiran keturunan membuat semua masalah kembali
berujung pada jalan sesat yang pernah dilaluinya.
Keluarga Maryam yang tinggal di Gerupuk, Lombok, tak kalah
marah dengan label sesat ini. Bersama ratusan anggota keluarga Ahmadi, mereka
harus lapang dada menghadapi pengusiran warga setempat. Hukum negara serasa tak
berlaku di tanah ini. Tak ada perlindungan warga, tak ada perlindungan hak
milik. Semua harus hengkang. Hancurkan dan bakar.
###
Sesak napas saya membaca novel pemenang KLA tahun 2012 ini.
Inikah wajah bangsa saya yang (dulu) terkenal penuh senyum, ramah? Tindakan
brutal atas nama agama terasa disahkan, meski harus menghancurkan, membakar bahkan
kalau perlu membunuh. Darah Ahmadiyah itu
halal (hal. 223). Seperti itukah yang dinamakan membela agama? Apakah ini
juga termasuk jihad? Jihad seperti inikah yang dilakukan Rasulullah berabad
yang lalu? Saya yakin tidak.
Terus terang, sebelumnya saya tidak mengenal apapun seputar
Ahmadiyah. Yang saya tahu adalah beritanya sering kali muncul di surat kabar
atau media elektronik. Konyolnya, setiap kali Idul Fitri, berita yang paling
saya tunggu adalah berita kapan para jamaah Ahmadi ini melakukan sholat Ied.
Dan memang sih, jamaah ini selalu mempunyai waktu berbeda dari sebagian besar
Muslim di Indonesia. Tapi apa bedaanya dengan perbedaan penentuan hari raya
Islam yang sering kali berbeda antara pemerintah dan Muhammadiyah? Kenapa
perbedaan ini tidak mendapat cap sesat? Kedua belah pihak bisa saja meng-claim
siapakah yang sesat dan mana yang tidak. Tidak ada garis yang jelas yang mana
yang keluar jalan atau menyimpang. Ketika yang satu memakai metode tertentu
untuk menentukan hari raya, dan jamaah Ahmadi juga mempunyai cara tertentu,
kenapa harus diberi label sesat?
Bagi beberapa orang yang mengenal saya, mungkin ada beberapa
juga yang menganggap saya sesat. Ketika banyak orang marah dengan kartun
Rasulullah yang digambarkan tidak senonoh, saya tenang-tenang saja. Apakah saya
tidak mencintai Nabi saya? Well, saya tidak mau munafik. Di jaman modern
begini, bombardir hal-hal yang menjauhkan dari cinta terhadap Nabi tak
terhitung banyaknya. Saya lebih greng ketika saya membaca berita seputar
bintang film kesayangan saya dibanding mendengar tausiyah seputar mencintai
Nabi. Bagaimana mungkin saya greng mendengar tausiyah, jika saya eneg dengan si
pemberi tausiyah? Tapi nyatanya, bibir saya tak henti membaca sholawat Nabi di
kala perjalanan ke dan dari kantor? Sebelum tidur pun saya lebih memilih
membaca sholawat dibandingkan menyebut nama bintang film favorit saya. Pamor
Nabi SAW tak lekang dengan berita2 tak senonoh itu bagi saya. Tak perlu saya
ikut-ikutan menghujat si penggambar kartun. Ikutan gelombang penuh emosi banyak
orang. Apa saya sesat?
Isu SARA hingga saat ini memang tak kunjung usai. Berita
seputar pelecehan seorang pengacara terhadap wakil gubernur Jakarta tak
habis-habisnya mengganggu timeline social media saya. Seorang teman seringkali
menyukai status tersebut ataupun memberi komentar. Ketika saya buka, para
pemberi komentar hampir semua memberi komentar yang isinya caci maki terhadap
si pengacara. Apakah itu berarti mereka tak pernah melakukan pelecehan SARA?
Maaf, saya ragu. Bangsa ini terlalu gampang dibakar tanpa berpikir panjang.
Untuk merasakan menjadi minoritas, saya rasa seseorang harus
berada di posisi tepat sebagai minoritas. Sayangnya, banyak dari kita selalu
menjadi mayoritas. Dan itu berarti, kita tidak pernah berganti lingkungan, tak
pernah mencoba berganti lingkungan, nyaman dan aman dengan lingkungan.
Bergejolak bersama dengan mayoritas, entah benar entah sesat. Semua nyaman dan
aman ketika mayoritas bersama kita. Sayang dan mengerikan sekali.
Note:
Novel ini saya sertakan dalam dua Reading Challenge
1.
What’s in A Name, ada konten nama di judul
bukunya
2.
Finding New Author Reading Challenge.
Nama Okky Madasari adalah nama baru bagi saya meskipun kalau
tidak salah sudah ada 3 bukunya yang dirilis selain Maryam, 86 dan Entrok. Meski
nama baru (buat saya), saya cukup menikmati tulisan Okky. Beberapa bagian terasa mirip sinetron, tapi untunglah
Okky tidak terjebak dengan ‘manis’nya sinetron yang biasanya berujung happily
ever after setelah si jahat kalah. Dengan topic utama masalah yang berhubungan
dengan SARA, Okky sangat baik menyampaikannya. Emosi Maryam sempat menular pada
saya. Dan saya sadar, masalah ini masih sangat sensitive di masyarakat kita. Salut
buat Okky Madasari. Selamat untuk kemenangannya di KLA 2012.
0 Response to "Maryam – Okky Madasari"
Post a Comment