Saga No Gabai Bachan by Yoshichi Shimada
Paperback, 264 pages
Published April, 2011 by Kansha Books
Rating: 3,5/5
Menjadi miskin bukan pilihan setiap orang. Tapi menjadi
miskin yang riang gembira bisa dipilih setiap orang. Pertanyaan adalah, bisakah
seseorang gembira di tegah-tengah kemiskinan?
Bisa sekali. Paling tidak ini adalah jawaban yang diberikan
oleh nenek Osano yang hidup dalam kemiskinan garis keras. Ternyata bukan hanya
fraksi agama saja yang bisa mempunyai garis keras, tapi juga paham kemiskinan.
Bom baru saja melanda Hiroshima Nagasaki ketika Akihiro harus
kehilangan ayahnya. Ibunya yang sibuk berdagang, memilih menitipkan Akihiro di
desa Saga bersama neneknya. Nah, neneknya inilah yang mempunyai paham
kemiskinan garis keras. Bayangkan saja, gaji sebagai seorang tukang bersih
sekolah pastilah sangat sulit untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari. Tapi,
Akihiro tidak pernah kekurangan makan berkat supermarket istimewa neneknya.
Tepat di depan rumah nenek, ada sungai yang selalu membawa
segala macam dari berbagai sumber, terutama pasar. Di sanalah sang nenek
meletakkan galah, yang nantinya segala yang mungkin mereka bisa dibutuhkan akan
tersangkut di dalamnya. Itulah supermarket istimewa nenek. Timun, apel, lobak, sawi
putih, hingga sandal kayu akan terbawa arus sungai dan memberi keuntungan bagi
nenek-cucu ini. Belum lagi kebiasaan nenek yang selalu meletakkan magnet di seutas
tali yang diletakkan di pinggangnya. Selama perjalanan, magnet ini akan menarik
segala sampah logam yang bisa dijual kembali dengan hasil lumayan. “Benda yang di dapat dari memungut sekalipun,
belum tentu pantas dibuang.” (Nenek, hal. 73)
Nenek Osano tidak hanya cerdik dalam hal mengatasi
kemiskinan, tapi juga mengelabui Akihiro yang polos. Udang karang sebagai lauk
Akihiro dikatakan sebagai lobster yang dipercaya mentah-mentah oleh cucunya, hingga
membuat terheran-heran wali kelasnya. Bagaimana mungkin, keluarga miskin bisa
menikmati lobster. Belum lagi pilihan olahraga Akihiro yang membutuhkan biaya
besar. Judo dan Kendo paling tidak membutuhkan seragam dan juga peralatan. Nenek
yang miskin tentu saja keberatan dengan biaya olahraga yang mahal itu. Sebagai gantiya,
Akihiro dia suruh berolahraga lari. Gratis tempat dan gratis kostum. Hahaha…
sebagai anak-anak yang polos, Akihiro menurut. Dan inilah yang kemudian menjadi
kelebihannya di masa remaja kelak.
Menurut nenek Osano, miskin dibagi dua, miskin muram dan
miskin ceria. Dan mereka adalah miskin yang ceria. Selain itu, mereka bukanlah baru-baru
ini menjadi miskin, jadi tak ada yang perlu dicemaskan. Tetaplah percaya diri. Keluarga
mereka memang sudah turun temurun miskin. Menjadi kaya, menurut nenek adalah
hal yang tidak enak. Makan enak, selalu bepergian, hidup selalu sibuk. Belum lagi
pakaian selalu bagus. Hingga kalau para orang kaya ini jatuh, mereka harus
memperhatikan jatuh mereka. Sedangkan orang miskin yang selalu baju kotor, di
waktu panas atau hujan, sehingga jika mau duduk di tanah, jatuh, ya terserah
saja. “Untung saja kita ini miskin”, kata nenek.
What can I say about this? What can you say about this? Speechless.
Berapa orang yang sangat menerima kehidupan mereka sebagai
orang miskin? Berapa orang yang mampu mengatasi masalah di kala kemiskinan
tengah melanda? Nenek Osano adalah nenek hebat yang cerdik mengatasi keadaan
sulit, bahkan di masa Jepang yang tengah sulit setelah pengeboman Nagasaki
Hiroshima. Kemiskinan tidak membuatnya pelit, apalagi yang berhubungan dengan
sesaji kepada dewa-nya. Bahkan pada tetangga yang meminta bantuan, hingga
keinginan membahagiakan cucu tercinta dengan membelikan sepatu mewah seharga
10.000 yen. Dan ini yang membuatnya terkenal di seantero desa Saga. Para guru,
hingga dokter setempat sangat memahami keadaan nenek Osano. Dan ini yang
membuat nenek mempunyai quote yang menyentuh: “Kebaikan yang sejati adalah kebaikan yang dilakukan tanpa diketahui
orang lain yang menerima kebaikan.”
Comments:
Saya pertama kali di tag seorang teman untuk review buku ini,
entah mengapa saya kurang tertarik membacanya. Namun ketika Okky, target Secret
Santa saya tahun lalu menge-tag saya review ini karena mengirimnya sebagai kado
Secret Santa, entah mengapa saya jadi tertarik, dan berniat membeli. Dan benar
pilihan saya, saya menyelesaikan buku ini hanya dalam hitungan jam. Duduk. Dan tenggelam
dalam kisah Akhiro Tokunaga tentang neneknya yang hebat. Kecerdikannya membuat
saya terpingkal-pingkal sekaligus tersentuh. Sekilas buku ini mengingatkan saya
pada Totto Chan, Gadis Kecil di Jendela. Dan ternyata, Tetsuko Kuronoyagi
mempunyai andil cukup besar dalam mempopulerkan buku ini.
Yoshichi Shimada yang sekarang berprofesi di bidang
pertelevisian dan panggung, mempunyai pandangan yang bijaksana dalam kehidupannya. Baginya, tak
ada benda bermerk, interior canggih, atau sajian mewah. Yang ada hanya sandang,
pandang dan papan yang sederhana. Kesederhanaan inilah yang ia ingin sampaikan
dari bukunya.
Meski tidak sekocak Totta Chan, cerita yang diambil dari
latar belakang sesudah pengeboman Jepang ini, tetap saja kisah Nenek Hebat dari
Saga ini sangat menghibur. Sangat cocok untuk bacaan ringan di kala suntuk
dengan bacaan serius… :D
kagum sama pemikiran nenek Osano. beliau juga nggak merasakan kemiskinan sebagai suatu penderitaan tapi berjuang mengatasi keterbatasan
ReplyDeleteIya, hebat ya. Jaman sekarang mana ada yang bisa ceria di kala miskin. Yang kaya aja belum tentu bisa ceria :)
DeleteSaya juga suka cerita ini, sangat memotivasi :)
ReplyDelete