TUESDAYS WITH MORRIE by Mitch Albom
Paperback, 220 pages
Published 2006, Gramedia Pustaka Utama
Rating 5 of 5
Bagaimanakah perasaan kita jika kita melihat ‘upacara
pemakaman’ kita berlangsung di depan mata, sementara kita masih hidup?
Morrie Schwartz, tokoh sentral dalam novel ini berinisiatif
mengadakan upacara pemakamannya sebelum kematiannya, karena ia merasa bahwa
akan sangat percuma memberi kesan-kesan positif kepada yang bersangkutan sementara
ia berada dalam peti mati. Begitulah
Morrie. Ia mengundang sanak saudara, kawan, sahabat, untuk menghadiri upacara
pemakamannya sebelum ia meninggal. Ia bisa menangis sekaligus tertawa bersama
hadirin. Ngilu.
Sosok Morrie adalah Guru Sampai Akhir bagi Mitch Albom, si
penulis novel ini, tetapi mungkin juga bagi semua orang yang membaca buku ini.
Tak berlebihan, jika saya pun secara pribadi mengharapkan adanya sosok seperti
Morrie dalam kehidupan nyata saya.
Dalam novel setebal 207 halaman ini, saya di’jejali’ dengan
kata2 bijak yang rasanya ingin semua saya garis bawahi. Kata ‘jejal’ saya
gunakan disini, karena saking banyaknya dan juga sedikitnya otak saya mengunyahnya.
Morrie banyak membicarakan seputar kisah-kisah hidup yang ia jalani selama lebih
dari 70 tahun ia hidup. Ada rasa bahagia, bangga, sesal, kecewa yang ia
tumpahkan. Pernyataan pasrahnya terhadap penyakit mematikan Lou Gehrig yang ia
derita adalah semacam pelajaran hidup untuk menikmati apa yang saya dapatkan
saat ini.
Tentang Dunia
Meski berada di ujung maut, tak ada alasan bagi Morrie untuk
tidak peduli pada sesama. Ia tidak hanya menangisi diri sendiri, tapi juga
menangisi orang lain yang ia rasakan penderitaannya. Morrie menangisi
penderitaan warga Bosnia yang ditembaki di jalanan, orang-orang yang bahkan ia tak
kenal. Berapa banyak diantara kita yang justru menyakiti orang yang kita kenal
tanpa rasa penyesalan?
“Inikah yang yang akan
terjadi pada akhirnya. Mungkin kematian semacam wuqualizer besar, sesuatu yang
akhirnya membuat seseorang menitikkan air mata atas penderitaan orang lain yang
betul2 asing bagi dirinya”. (hal. 54)
Tentang Mengasihani
diri Sendiri
Seberapa sering kita benar-benar melihat ‘ke dalam’ diri sendiri?
Pada saat-saat seperti apakah kita melihat ke dalam? Saya pribadi sering2 tiba-tiba mengingat diri sendiri pada malam menjelang tidur, atau pagi hari setelah
bangun tidur. Apakah ada perasaan tertentu yang saya rasakan? Tentu saja.
Demikian juga pada Morrie. Dia sering kali menangisi diri sendiri di pagi
hari. Dia sering kali harus merasa ‘berkabung’ setiap kali ia menyadari ada
kemampuan fisiknya yang hilang karena penyakitnya.
“Memang ngeri
menyaksikan bagaimana tubuhku perlahan-lahan kehilangan fungsinya. Tapi aku
juga bersyukur atas kesempatan yang cukup luang bagiku untuk mengucapkan salam
perpisahan. Tak semua orang seberuntung
aku.” (hal, 62). Duuhh…
Tentang Penyesalan
diri
Saya yakin, semua atau paling tidak banyak diantara kita
yang pernah merasakan penyesalan pada diri sendiri. Saya yang sering ‘nyablak’
terkadang menyesal dengan kelancangan saya sendiri. Perlakuan kurang adil
terhadap murid, membiacarakan teman kerja di belakang punggungnya, berkata
keras pada ibu saya atau saudara saya,
owh, banyak sekali.
Saya pernah mengikuti sebuah ‘aliran’ budaya (kalau tidak bisa
disebut sekte), dimana disitu diajarkan agar kita harus lepas dari yang namanya
attachment. Sebenarnya tidak hanya dalam aliran itu saja, semua agama akan mengajarkan
kita untuk tidak terlalu terikat dengan kebendaan yang kita miliki. Saya?
Addhuuhh… susahnyaa jauh dari smartphone saya.
Belum lagi angan-angan kebendaan lain yang ingin saya dapatkan. Jadi ingat
dengan salah satu lagu milik Emha Ainun Najib
Ketika belum kepengen sudah
Ketika sudah kepengen nambah
Sesudah ditambahi
Kepengen lagi, lagi dan lagiiii (Tak Sudah Sudah, Emha Ainun Najib)
Cocoook bener saya dengan lirik lagu di atas. Sementara apa
kata Morrie tentang hal ini? “Kita begitu
terbelit dengan dengan segala sesuatu yang berhubungan dengan kepentingan
sendiri, karir, keluarga, uang cukup banyak, melunasi hipotek, membeli mobil
baru………………………..Maka kita tidak terbiasa berdiam diri sejenak untuk merenungkan
hidup kita dan berkata, Hanya inikah? Hanya inikah yang kuinginkan? Ada seuatu
yang hilang? Kita memerlukan seseorang untuk mendorong kita kearah itu.
Kejadiannya tidak otomatis.”
Kita butuh GURU.
Comments:
Saya harus komen apa ya untuk buku ini. Bintang 5 yang saya
berikan memang subjektif, tetapi buat saya penyuka novel segala genre, buku ini
seperti oase di tengah kegelapan tema-tema seputar vampire, werewolf, setan, jin,
dewa-dewa Yunani yang mata keranjang, dsb. Buku ini adalah buku ke tiga yang saya
baca yang diambil dari kisah nyata. Buku kedua yang membuat saya berkaca-kaca
setelah The Last Lecture-nya Randy Pausch (buku ini malah belum sempat ditulis
reviewnya).
Overall, buku ini bagus buat anda yang kehilangan semangat
karena sesuatu alasan. Tak ada alasan
untuk berlama-lama terpuruk. Seorang Morrie yang sudah mendapat penalty akhir
hidupnya pun masih bersemangat untuk bicara seputar kehidupan, bukan kematian
yang sudah dekat padanya. Menghargai waktu dan kebersamaan dengan keluarga,
kawan, sahabat adalah pesan yang ingin disampaikan guru Morrie Schwartz.
Movie version:
Pertama, saya ingin berterima kasih pada pihak yang sudah dengan
senang hati mengunggah video Tuesdays With Morrie lewat situs Torrent. Semoga
kebahagiaan bersamanya. Lol.
Sayangnya, movie versionnya tidak terlalu mengharu biru
seperti bukunya. Hal-hal yang saya inginkan ada di film beberapa memang ada,
seperti momen Janine, istri Mitch, menyanyikan lagu The Very Thought of You
(meleleh rasanya denger lagu ini), momen pesan2 di acara pemakaman Morrie yang
dihadiri Morrie sendiri, dll. Tapi, beberapa adegan saya tidak terlalu
menemukan feel-nya, ketika acara ngobrol
setiap Selasa-nya Mitch. Kenapa ya? Bintang 3 aja deh buat filmnya.
PS. Selama membaca buku ini, saya membayangkan seperti apa
nanti bentuk review yang bakal saya tulis. Tadinya saya ingin menulis sosok
Morrie dari kacamata Multiple Intelligence (saya sedang mengajar materi itu di
kelas ketika membaca buku ini). Akan tetapi perkembangangannya sangat kompleks
jika menulis dari kacamata itu. Kemudian saya ingin menulis sosok Morrie
sebagai unsung hero bagi siapa saja. Saya yakin, lagu Tanpa Tanda Jasa masih
ditujukan bagi guru. Dan Morrie adalah professor yang mengajar dengan cara
uniknya. Tapi ternyata saya cancel juga. Hasilnya? Yaa..seperti yang sudah jadi
ini hehehe. (kurang maksimal saya rasa. Huhuhu)
....Buku ini adalah buke ke tiga yang saya baca yang diambil dari kisah nyata. ....
ReplyDeletetypho, seharusnya buku ketiga
....saya ingin berterima kasih pada yang sudah dengan...
pada ?????? yang sudah
*digetok kaka lila*
kapan ngefollow blogku?
*gantian getok kaka lila* :D :D
Buset... Ada ijul kedua di mari.... (sudah dikoreksiiii *melet*)
DeleteMakasih koreksinya yaaa..
Lho? aku belum follow ya? Sudah deh perasaan, jaman giveaway dulu. Yo wess... mari kuintip dulu bentar...sudah apa belum nderek jamaah blog mu wkwkwkwk
hai mb Lila salam kenal ya, nggak secara langsung udah kenalan di grup BBI :)
ReplyDeletereviewnya kebanyakan b.inggris dan suka motonya 'Ngakunya cinta buku, nyatanya banyak baca ebook' *komen yg nggak nyambung sama isi reviewnya*
Salam kenal juga sang Peri hutan (nama yang sangar tapi kereen)
DeleteMakasih sudah mampir di 'hutan' sini hihihi...