HAVE A LITTLE FAITH (Mitch Albom)
Paperback, 284 pages
Published November 2009 by Gramedia Pustaka Utama
Rating 4/5
Sewaktu aku masih
remaja, Reb membawakan khotbah yang membuatku tertawa. Ia membawa sepucuk surat
ucapan terima kasih dari pemimpin agama lain. Di akhir surat itu tertulis: “Semoga
Tuhan Anda – dan Tuhan kami—memberkati Anda.” (hal. 163)
Saya seperti halnya Mitch, juga tertawa. Tapi saya menyadari
kedalaman kalimat itu. Tidak semua orang, apalagi pemimpin agama, seperti Reb, bersedia
menyampaikan surat dari pemimpin agama lain di tengah khotbah keagamaannya. Ini
bukan olok2nya terhadap agama lain, melainkan ketulusan dari seorang Reb menerima
Tuhan selain Tuhan yang ia yakini dari agamanya.
Ini adalah buku ketiga dari Mitch Albom yang saya baca. Buku
yang berkisah tentang sosok nyata Reb albert Lewis ini sangat sarat dengan
kata2 yang semuanya ingin saya garis bawahi dan saya cantumkan dalam review
ini. Sebagian kata2 itu berasal dari kisah hidup Reb yang loyal berada di
jalannya sebagai seorang Rabi Yahudi dan sebagian lagi dari cuplikan
khotbahnya.
Selain sosok Reb, Mitch juga mengisahkan tentang Henry
Covington, seorang criminal tobat yang kemudian menjadi seorang pastor. Dari kisah
masa lalunya, betapa kita harus menyadari bahwa Tuhan memang selalu bersama
kita. Di manapun dan kapan pun. Berapa banyak di antara kita yang sering kali
meragukan kehadiran Tuhan dalam kehidupan kita? Tuhan, juga sering menjadi bahan
perdebatan, antara Tuhan saya, Tuhannya, dan Tuhan mereka. Tuhan yang manakah yang
mengatur dunia ini? Agama apakah yang pantas berada di muka bumi ini?
Mayoritas agama
memperingatkan agar manusia tidak berperang, namun demikian lebih banyak perang
dilangsungkan demi agama ketimbang demi hal lain. Orang Kristen telah membantai
orang Yahudi, orang Yahudi membantai orang Muslim, orang Muslim membantai orang
Hindu, orang Hindu membantai orang Buddha, orang Katolik membantai orang
Protestan, orang Orthodoks membanrai kaum pagan. Dan kita dapat menarik daftar
ini mundur ke belakang atau ke samping,
tetap saja nyata. Perang tak pernah berhenti, hanya berhenti sementara.
(hal. 96)
Melihat kenyataan tersebut, lantas apa yang ada dalam
pikiran kita? Di luar sana, banyak saudara kita dari agama kita, yang berlomba
menjadikan agama sebagai alasan utama membantai orang lain. Dan apakah ini
adalah hal yang dibenarkan oleh salah satu ayat dari kitab Suci? Membunuh?
“Mitch, Tuhan tidak
menginginkan pembunuhan itu terus berlangsung.”
Lalu mengapa perang
tak pernah berhenti?
“Karena manusia
menginginkannya.” (hal. 97)
***
Selain hal2 yang berhubungan dengan Tuhan dan agama, Reb
juga memberi petuah2 kocak nan menyentil di dunia perkawinan. Dia menyindir
berapa banyak pasangan yang ia nikahkan yang kemudian berpisah bertahun
kemudian. Petuah ini sering ditujukan pada muda mudi yang akan melangsungkan
pernikahan
“Ingatlah, satu2nya perbedaan
antara ‘marital’ (perkawinan) dan ‘martial’ (bela diri) adalah dimana kita
menempatkan “I” (aku).” (151)
Dalam suatu acara, Reb
juga pernah menceritakan mengenai seorang lelaki yang mengeluh pada dokternya
bahwa istrinya bila marah, menjadi historis.
“Maksud anda histeris,”
kata si dokter.
“Tidak, historis, “
kata si lelaki. “Ia mendaftar histori (riwayat) setiap kesalahan yang pernah
kuperbuat.” (hal. 151)
Buahahahaha…. Sebuah sindiran yang sangat mengena. Cinta bisa
saja berubah seiring dengan waktu. Perubahan seperti apa di masa yang akan
datang, tergantung dari kedua belah pihak yang menjalaninya. Menurut Reb, cinta jenis kasmaran, mabuk kepayang, karena
ketampanan atau kecantikan, akan memudar seiring dengan memudarnya kecantikan seseorang. Sebaliknya,
cinta yang sudah teruji adalah cinta yang akan terus tumbuh subur. Cinta Reb terhadap
Sarah, cinta Mitch pada Janine meski berbeda keyakinan, cinta Henry, pastor
mantan criminal yang tobat pada istrinya yang mantan pecandu narkoba bisa
menjadi contoh cinta yang akan terus tumbuh subur.
Comments:
Terus terang, saya selalu kesulitan setiap kali menulis
review dari buku2 yang ditulis Mitch Albom. Bisa dibilang, The Five People You
Meet in Heaven adalah yang paling gampang dalam penulisan review-nya. Belum lagi,
buku ini saya selesaikan dalam jangka cukup panjang. Topik yang berbeda-beda dari
satu bab ke bab lainnya dan seperti biasa, ingin saya cantumkan semuanya,
menambah kesulitan saya.
Saya selama ini, sejak saya mulai membaca buku2 Mitch Albom,
sering kali dihinggapi perasaan sedikit cemburu padanya. Mengapa? Tidak lain
karena ia selalu saja dekat dengan orang2 hebat, seperti Profesornya, Morrie,
dan sekarang ini adalah Albert Lewis, sang rabi yang pada waktu ia masih kecil
seringkali ingin ia hindari. Cemburu saya terletak pada kekayaan pengalaman
yang bisa ia timba dari dua sosok tersebut. Tapi kemudian, saya menyadari bahwa
kesempatan yang diberikan pada Mitch adalah penunjukan yang tepat Karena ia
mampu membagikannya dalam tulisan2nya. Cemburu saya juga hilang karena ia
selalu dekat dengan orang2 yang sedang menjelang ajal. Siapa sih yang ingin
merasa kehilangan yang amat sangat setelah begitu dekat selama hidupnya? Namun tetap
saja, kebersamaan antara Mitch dengan orang2 tersebut selalu membuahkan sesuatu
yang berharga, tidak hanya untuk dirinya, untuk saya sebagai pembacanya, juga
untuk semua orang, untuk belajar dari orang2 luar biasa itu.
I'm always interested in this kind of interfaith discussion, you know why. :)
ReplyDeleteI've read your review and I really want to read this book then, since I always read Karen Armstrong's collection.:)
Hahaha... I know I know.... I just don't know why I love reading this kind of books while I encounter anything like that (yet) hehehe...
Deletepinjammmmmmm *numpuk pinjaman*
ReplyDeleteAntriiiiiiiiiii... sama yang komen pertama di atas :p
Deletebuku ini emang keren :)
ReplyDeleteBener, bang :)
Deletebelum pernah baca bukunya Mitch Albom
ReplyDeleteHehe... Aku pertama baca, langsung beli boxsetnya.... #glekdompetnya
ReplyDelete