Selimut Debu (Agustinus Wibowo)
Paperback 461 pages
Published September 2011 by Gramedia Pustaka Utama
Rating 4/5
“Kamu kalau melakukan namaz (shalat), begini atau begini?”
“Begini” yang pertama adalah meletakkan kedua tangannya menutup perut—cara
sembahyang umat Sunni. “Begini” yang kedua adalah tangannya lurus disamping
badan—pertanda umat Syiah. (hal. 420)
Untuk pertanyaan sensitive begini, di sebuah Negara
Islam—Afghanistan, yang sering dilanda konflik, tidak hanya dari luar, tapi
juga dari dalam, bagi seorang non Muslim seperti Agustinus Wibowo—si penulis
novel mendebarkan ini, bagaiman harus menjawabnya? Untunglah seseorang telah
mengajarkannya untuk menjawab, “Tak perlu
saya ber-namaz ‘begini’ atau
‘begini’. Agama itu yang penting adalah insaniat—kemanusiaan,
bagaimana kita mencintai sesame manusia.”
Katakan saya tak mengenal sejarah2 dunia, katakan juga saya
ini tak membaca berita2 luar negri, katakan apa saja yang kalian mau mengenai
saya, karena dengan membaca Novel setebal 450 halaman ini, saya jadi (baru)
mengerti, bahwa Afghanistan adalah penghasil opium terbesar di dunia dengan
kualitas terbaik, bahwa rakyatnya, meski tau dampak negative dari opium, masih
tetap saja ada yang menghirupnya, sekedar melepaskan beban hidup susah, bahwa
tanah konflik ini pernah menjadi pusat ibadah ummat Buddha dengan adanya patung
Buddha raksasa, sebelum datangnya agama Islam, yang kemudian semenjak
berkuasanya Taliban, hancurlah peninggalan bersejarah yang memiliki nilai seni
tinggi, dan bahwa penduduk Afghanistan mempunyai budaya—menjijikkan, yaitu bachabazi
alias playboy. Jika diterjemahkan secara harafiah, play berarti bermain, dan
boy adalah anak laki laki. Jika digabungkan adalah bermain anak laki laki. Dan
demikianlah arti sebenarnya, kaum laki laki Afghan, tak terduga adalah
penggemar bermain dengan anak laki laki, secara seksual. Fiuh. Bachabazi
bisa dibilang lebih bisa dimaafkan dibandingkan zina. Pada jaman berkuasanya
Taliban, pelaku bachabazi ini akan
dihukum dengan cara diambruki tembok!!! Sementara pelaku zina akan dihukum
dengan dipendam dalam tanah dan dirajam hingga mati. Lebih ringan mana? Maka
karena itu, masih ada saja playboy ini…
Sepanjang novel, saya menemukan banyak sekali persamaan tak
terduga antara Indonesia dan Negara bekas jajahan Uni Soviet ini. Indonesia
adalah Negara kaya dengan laut yang melimpah dan tanah yang subur, namun,
berapa banyak kemiskinan melanda Negara ini? Afghanistan bukan Negara kaya
namun garis batas antara kaya dan miskin pun juga terlihat jelas. Para
penggalang dana untuk Afghanistan tak terhitung jumlahnya, namun kemana kah
aliran dana itu? Wallahualaam. Indonesia terdiri banyak suku, tak terhitung
berapa kali terjadi tawur antar suku. Seingat saya dalam novel ini, Agus
menuliskan adanya pertikaian tak terlihat antara Tajik dan Hazara. Kaum Tajik
mengatakan ini dan itu seputar kaum Hazara. Demikian pula sebaliknya. Indonesia
pun bagi sebagian orang, menganggap stereotype orang Jawa begini, Batak begitu,
Madura demikian dan seterusnya. Ahhh… Bagaimana dengan penganut agama tertentu.
Missal Islam, jelas sekali Indonesia mempunyai dua organisasi masyarakat Islam
besar, NU dan Muhammadiyah. Tak jarang, ada juga yang mengatakan ini itu
terhadap aliran masing masing. Sama halnya dengan Sunni dan Syiah di awal
review ini.
Apa yang tersisa dari perang yang berkepanjangan? Kebencian
dan kekerasan seolah telah mendarah daging bagi penduduk negara ini. Simak saja
soal matematika yang ada, “Jika saya membunuh tiga Rusia, dan kamu membunuh dua
Rusia, berapa orang Russia yang kita bunuh?” Segala guyonan pun sudah tak
terasa lagi lucunya—bagi saya. Simak saja:
Seseorang ingin
membeli keala kambing ke bazaar. “Berapa harga kepala kambing ini?”
tanyanya. “Lima puluh afghani.” Jawab si penjual. “Apa? Lima puluh afghani?
Mahal sekali. Dua puluh afghani ya?” tawar si pembeli. “Apa? Dua puluh afghani?
Kamu kira ini kepala manusia?”
Sama sekali tidak lucu, bukan? Pahit.
Tak sedikit dari para Afghani ini masih bernostlgia dengan
penjajahan Russia terhadap Negara ini. Beberapa orang seolah masih hidup di
masa lalu, masa-masa dimana merah nya Komunis merajai Negara tandus ini. Tak
mengherankan, Russia membebaskan kaum perempuan dari bungkusan burqa dan
membebaskan mereka untuk keluar rumah, untuk ke sekolah. Kedatangan Taliban
mengembalikan mereka, kaum perempuan ini terbungkus dan hidup dalam dua dunia
saja, rumah dan liang kubur. “Khazay la, ya kor, ya gor”, demikian
pepatah Pashtun, yang terjemahan harafiahnya adalah, “Perempuan, di rumah atau
di kubur.”.
Masalah perempuan dan burqa bias memakan waktu yang sangat
panjang bagi sebagian orang. Sementara bagi sebagian penduduk Taloqan, bagian Propinsi
Takhar, burqa adalah budaya yang sudah hidup berates-ratus tahun. Mereka bahkan
menganggap burqa ini sudah ada bahkan sebelum Islam datang. “Dalam kitab suci, tidak pernah disebutkan
seorang wanita harus menutupi seluruh wajahnya. Lalau bagaiman burqa selalu
diidentikkan dengan agama?” Sa’dat, seorang wartawa Takharistan menjelaskan. Agama kemudian menjadi justifikasi kultur.
(hal. 169).
Mengikuti perjalanan Agustinus ini serasa naik roller
coaster bagi saya. Suhu panas Afghanistan ikut membawa saya kepanasan, suhu
panas konflik politik disana, juga membuat saya merinding, kontur tanah yang
naik turun sesekali memerosokkan truck tua juga membuat mual perut saya,
apalagi kekesalan hati turis yang ditinggal kendaraan selama berhari-hari
membuat saya begidik karena kesal. Namun, tak jarang hati ini terasa hangat
mengingat keramahan sebagian penduduk yang begitu memuliakan mehman—tamu
yang mereka jamu. Ahhh… ingin rasanya ikut menjelajah tanah mantan jajahan
Jengis Khan ini. Tapi mengingat bahaya ranjau yang mungkin masih mengancam dan
cuaca panas menyengat, serta bom bunuh diri yang beritanya bagai mahasiswa
tawur saja, saya memilih membaca saja kisah nekad penulis yang sedari kecil
bercita-cita sebagai turis ini. Salut…
Check video wawancara Agustinus di Kick Andy
You know, mbak. Dulu itu aku suka menyesali kenapa lahir di Indonesia yang semrawut ini. Tapi sejak tahu tentang negara-negara afrika dan timur tengah yang kebanyakan hidup di bawah garis kemiskinan, sejak membaca betapa terkungkungnya masyarakat Korut, saya bersyukur banget lahir di Indonesia.
ReplyDeleteSaya juga semakin mengimani QS Ar Rahman ayat 33 : "Maka nikmat Tuhan-mu yang manakah yang kamu dustakan?"
Baca review ini, lagi-lagi saya teringat surah itu. Reviewmu bagus, mbak. Ayo ajukan jadi resensi pilihan :D