Journey- From Jakarta to Himalaya (Gola Gong)
Published April 2088 by Maximalis
Rating: 3,5/ 5 stars
Ada berapa banyak perjalanan yang sudah kita lalui? Perjalanan,
baik secara fisik maupun spiritual? Saya yakin, dari sekian banyak perjalanan
itu, ada satu dua atau bahkan banyak yang membekas dalam ingatan, tak bakal
lekang oleh kisah perjalanan lain yang menanti di masa datang.
Terobsesi dengan novel Mengelilingi Dunia dalam 80 hari dan
Tom Sawyer, Gola Gong kecil menginginkan perjalanan yang sama. Dia jelajahi
dari mulai perkampungan di kotanya, hingga penjuru Nusantara, dan melebarkan
sayapnya ke penjuru dunia. Tak ada yang bisa mencegah Gong kecil ini, menyusuri
jalan2 di Malaysia dengan sepeda gunungnya, hingga Thailand, Laos, India, hingga
Pakistan. Sesekali ia mengambil hal2 yang mengingatkannya pada Nusantaranya,
secara positif ataupun negative. Semeriah2nya Kuala Lumpur, tak ada gejolak
berarti dari para abege-nya. Semua berjalan bergegas seperti robot. (hal. 39). Budaya
pamer taka da dalam kamus penduduk Thailand. Mereka menggunakan mobil atau
kendaraan sesuai dengan fungsinya:
memboyong hasil bumi dari sawah ke pasar. Kebutuhan sekunder seperti TV,
lemari es bukan jal yang bisa dipamerkan, tidak seperti budaya pamer di
Indonesia.
India, terkenal oleh kisah epic Mahabharata dan Ramayana.
Tokoh2 dunia seperti Gandhi, Nehru, Bunda Teresa lahir di tanah Shah Rukh Khan
ini. Kisah epic yang penuh dengan nilai ciptaan Mpu Vyasa ini ini tersebar di
dunia, termasuk Indonesia. Apakah rakyat India seperti yang digambarkan dalam
kisah Mahabharata atau orang2 besar yang lahir disana? Alih2 bertemu dengan
pengalaman yang diimpikan semenjak kecil, Gong menemui orang2 India yang bangga
sebagai orang India, dan para traveller atau turis harus menerima apa adanya,
termasuk menipu demi rupee, Sungai Gangga yang disucikan, di pinggirnya para
remaja pria menghisap ganja atau hashis, dan perang mulut seperti di film2
India. Tapi, cukup banyak traveller yang tak kapok menjadi turis bagi Negara asal
lagu Kuch Kuch Hota Hai ini.
Pernah nonton film India? Saya pernah. Cukup di VCD saja.
Gong mengalami nonton film India di Negara asalnya. Kesan pertamanya yang
merasa konyol dengan adegan nyanyi dan tarian setiap kali scene gembira ataupun
sedih menjadi berubah. Bioskop India sangat merajai negerinya. Rakyat India
sangat mendewakan film2 India, dibuktikan dengan teriakan heboh, ekspresi
berlebih dengan berdiri serentak tiap kali adegan seru hingga hengkang sebelum
film usai karena kecewa tokoh protagonist-nya mati di akhir cerita. Belum lagi
dengan interval alias jeda di tengah film. Mereka bisa pergi minum di lobby bioskop.
Ternyata para Indians itu juga menyadari durasi film mereka yang minta ampun
lamanya.
Comments:
Terus terang, saya cukup menikmati kisah perjalanan ini
meski pada awalnya saya cukup merasa terganggu dengan gaya penceritaan Gola Gong yang maju mundur-bercampur dengan
kisah Bapaknya yang sakit hingga meninggalnya. Kisah perjalanan ini di awal
buku serasa terjadi hanya di kepala Gong secara flashback. Tapi seiring dengan berakhirnya
kisah Bapaknya yang berpulang ke hadlirat Allah, cerita tak ubahnya kisah
perjalanan biasa, menurut saya ini sedikit tidak konsisten. Saya berpikir, satu
perjalanan Gong akan selalu dihubungkan dengan apa yang sedang terjadi saat itu—saat
dimana ia sedang menunggui bapaknya yang sedang sakit. Di beberapa bab sih
demikian, tapi di bab berikutnya tak selalu demikian.
Ketidaknyamanan yang lain selama membaca novel setebal 245
halaman ini adalah typo kata ataupun kalimat (saya merasa ada satu kata yang
hilang) yang cukup banyak. Sayangnya saya tak berminat memberi tanda di tiap
typo tersebut. Belum lagi sponsor besar Gola Gong selama perjalanan ini disebut
berkali kali yang membuat saya malas. Oke lah, dia memang terkenal sebagai
jurnalis sebuah penerbit tertentu dan juga penulis tetap suatu majalah, tapi
bukan berarti nama2 itu menghiasi halaman2 novelnya. Mungkin, tulisan ini sempat
diterbitkan secara rutin entah di surat kabar atau majalah yang sering disebutkannya,
tapi ketika kemudian tulisan itu dirangkum dalam satu novel, ada baiknya di
edit sana sini. Kalimat2 tertulis yang terkadang seperti kalimat langsung atau
bahasa non tulis terkadang bisa ditemui juga. Hey, saya sering ngomel pada murid
saya yang menulis paper dengan gaya bahasa spoken,
dan bukan written, mengapa penulis
sekelas Gola Gong masih menggunakan kalimat semacam ini? Jika di semua bab,
gaya berceritanya memang demikian, mungkin saya akan merasa it’s fine. Tapi kalimat2 semacam ini
hanya ditemukan sesekali. Butuh proof reader handal nih kayaknya hahaha…
Satu lagi, maap, sedikit personal ya, Gola Gong sepertinya
cukup gender biased. Dia merasa cowok—lelaki, sah untuk pergi, mencari pengalaman
dengan melakukan perjalanan jauh. Apakah itu berarti cewek tak boleh? Bagaimana
menurutnya seorang Trinity dalam benaknya? Meski tidak terlalu nge-fans dengan
Trinity, saya salut dengan tekad Naked—Nekad Traveller-nya. Engg….. satu lagi,
mungkin ini hanya perasaan saya saja, ke-aku-an seorang Gola Gong sangat terasa
disini. Saya membaca beberapa kisah perjalanan, dan saya tak tahan untuk tidak
membandingkan antara satu karya dengan lainnya. Subjective, memang. Tapi apa
hendak dikata kalau saya tak bisa menahannya? Agustinus Wibowo dengan Selimut
Debu-nya sangat mempesona saya. Tak ada indikasi ‘aku’ yang tinggi disana. Agak
sulit menjabarkan seperti apa ‘aku’ yang saya maksud disini. Coba saja baca,
dan rasakan sensasi ke-aku-an seorang Gola Gong.
review yg "dalam", brp tulisan gola gong mmg sgt machoism. tp begitupula sebagian besar penulis novel pria, hanya cowo yg keluar menuntut ilmu sampai negeri cina. ini hanya masalah beda generasi , sih, msh old-fashion. generasi trinity kesana akan berubah.
ReplyDeleteAha, begitu ya? Emang sih banyak penulis pria yang gender biased begini.
DeleteMakasih ya sudah mampir :)
contoh kalimat spokennya kayak gimana ya, mbak? jadi penasaran
ReplyDeleteHadhuh.... Kudu buka bukunya lagi nih. Padal sekarang lagi terlena oleh Harry Potter. Nanti ya... Kucoba buka lagi. Maklum nulis review tanpa orek2, dan nulisnya 2 mingguan setelah selesai baca bukunya. Duh... malah curcol :D
Delete