#20 Murjangkung Cinta yang Dungu dan Hantu-Hantu by A. S. Laksana
Paperback 214 pages
Published 2013 by GagasMedia
Rating 3/5
Absurd. Yang kedua absurd. Dan
seterusnya....
Ini adalah kumpulan cerpen kedua yang
mengusung keabsurdan setelah SKTLA nya Maggie Tiojakin. Dan apa yang tertinggal
setelah cerpen terakhir ditutup? Lega. Kenapa lega? Well, karena saya akhirnya
kelar juga membaca novel nominasi KLA 2013 ini tanpa saya skip hahaha. Setelah
lega, tentu saja merasa absurd, seperti rasa di semua cerpen disini :D
Terdiri dari 20 cerpen yang
kesemuanya sudah pernah dipublikasikan di harian kota. Tak satupun cerpen
pernah saya baca di salah satu harian yang disebutkan di akhir halaman buku
ini. Di salah satu harian, saya tahu bahwa harian ini selalu mempublikasikan
cerpen dengan keabsurdan tingkat tinggi dengan ilustrasi yang tak kalah
absurdnya. Jadi, saya sudah menyiapkan hati bakal mengalami perjalanan
kisah-kisah yang panjang dan belum tentu akan saya pahami.
Cerpen pertama dibuka oleh Bagaimana
Murjangkung Mendirikan Satu Kota dan Mati Sakit Perut. Melihat judulnya saja
saya sudah sakit perut. Kisah tentang Tuan Mur yang berhasil menaklukkan sebuah
kota dan menguasainya terasa seperti sebuah sindiran atas sebuah kota / negara
yang lengkap dengan para pengkhianat dan mereka yang lemah akal hingga menyerah
pada kekuatan lawan hingga mengharapkan kekalahan Tuannya sendiri.
Kesembilanbelas cerpen lainnya tak
berbeda jauh dengan cerpen pertama. Semua terasa seperti membaca kritik sosial
yang disampaikan secara absurd, satir namun kocak. Dari sekian cerpen, yang
membuat saya cukup berkerut adalah cerpen Kuda. Bukannya ini yang paling absurd
melainkan cerpen inilah yang terasa 'normal' dengan alur dan ending yang saya
harapkan melenceng dari nalar saya, namun ternyata saya salah. Bukannya senang,
saya justru merasa heran dengan cepatnya saya menangkap ide cerita dan menebak
ending cerita. Namun tetap saja, seperti yang lainnya, cerpen ini penuh dengan
diksi yang bagus, penuh metafora yang indah.
Ia merasakan semak-semak tumbuh di dadanya, ia merasakan rumput-rumput liar dan tanaman berduri menyakiti jantungnya. Mestinya ia keluar dari ruangan itu sebelum dada dan jantungnya koyak-moyak oleh ilalang dan duri-duri yang meliar di dadanya. (hal. 197)
Selama membaca, saya sesekali
tergelak dengan percampuran antara kisah-kisah yang populer dalam dongeng,
kisah Nabi-Nabi hingga sejarah politik sampai mitos-mitos yang berkembang di
satu daerah. Kisah cinta disini pun disampaikan secara liris nan tragis. Saya
malah tak berharap banyak akan menemukan kisah cinta dalam kumpulan cerpen ini.
Namun ternyata si penulis tetap memasukkan kisah cinta non romantis disini.
Alit, si pesulap yang tiba-tiba merasa dirinya tak lagi berbakat hingga
memutuskan menjadi pawang hujan demi melindungi gadis yang ia cintai terbebas
dari guyuran hujan. Kisah cinta orangtua juga tersaji disini dengan bumbu
gender serta dongeng daerah Sangkuriang. Seto, nama yang beberapa kali muncul
di beberapa cerpen, harus menerima mempunyai dua orang ibu dengan ayah yang
menjadi ibu.
Meski saling tak berhubungan satu
sama lain, seperti yang saya katakan, beberapa cerpen dengan nama yang sama,
mempunyai keterkaitan secara tidak langsung, dengan alur waktu yang saya
sendiri bingung. Di satu cerpen dikisahkan Seto mempunyai keluarga, di kisah
lainnya, Seto adalah seorang anak dengan dua ibu, dan Seto yang lahir dari
rahim pembantu, putra haram majikan yang sekaligus cucu ibunya. Duh.... :/
Overall, meski absurd tingkat 9, saya
tetap menikmati kisah -kisah yang tersaji disini. Diksi yang keren itu yang
mungkin membuat saya betah berlama-lama membaca, serta menebak-nebak akan
bagaimana ending kisah ini dan itu. Tak jarang saya terpekik dengan ending yang
tak terduga sambil ngakak tiada henti. Saya bisa mengatakan ini perkenalan saya
dengan A. S. Laksono yang ingin saya lanjutkan ke buku berikutnya atau
sebelumnya. Oya, si penulis yang ternyata berasal dari Semarang, yang ternyata
adalah teman SMA kakak saya, yang dulu dikenal dengan nama panggilan Sulak
karena nama belakangnya Sulaksono, ternyata juga anak dari teman pengajian ibu
saya di kampung #gapentingbanget... :D :D . Tak heran ada sebuah deskripsi
detil dari kota kelahiran saya ini, terselip di salah satu cerpennya.
Tentang Penulis:Kau tahu, tidak setiap kota memiliki bukit dan pantai dan Semarang memiliki keduanya, namun ia berkembang menjadi kota yang tidak bagus dan gampang terendam. Ia terendam oleh banjir di musim hujan, terbenam oleh rob di musim kemarau, dan tenggelam oleh poster-poster dan spanduk-spanduk di musim kampanye. Dulu ia pernah karam secara menyedihkan ketika seluruh pokok tanaman di tepi jalan dan pagar rumah harus dicat warna kuning. (hal. 122)
Iya, Mbak Lila... absurd tapi suka :D
ReplyDeleteSetuju, Mbak. Meski mumet tetep suka :)
DeleteSetuju ga mbak kalau buku ini yg lebih pantas menangin KLA?
ReplyDeleteWah, Lun. Dari sekian nominasi, aku baru baca ini. Pulang, banyak yang kecewa ya? :)
DeleteWah jadi pengen baca buku ini, kebetulan Waktu berburu Bahan bacaan KLA saya mencari buku ini gak ketemu , maklum di daerah...
ReplyDeleteIni juga dapat minjem. Buku absurd begini layaknya ga dibaca dua kali hehehe....
Deletehyahahhaa, aku sampe pening baca buku ini XD
ReplyDeleteBiar mumet, tapi aku sssuukaaaa dengan diksinya. Nyastra gitu :))
ReplyDeleteAlis saya juga berkerut baca ini. Hahaha. Tapi suka sih, beliau pandai sekali memberi judul disetiap tulisannya :)
ReplyDeleteduuuh butuh mood yang pas kayaknya ya baca ini... kalo nggak yang ada bisa pusing2 terus XD
ReplyDelete