Rantau 1 Muara by A. Fuadi
Paperback 401 pages
Published Mei 2013 by Gramedia Pustaka Utama
Rating 4/5
Saya SUNGGUH IRI!!!!
WOW!!! Tiba-tiba capslock saya jebol :D
Hehehhe…. Saya yakin siapaun yang membaca kisah ketiga dari
trilogy Negeri 5 Menara ini pasti akan merasa jealous. Bagaimana tidak? Awww…. Sebentar
saya tulis dulu review buku ini.
Di buku sebelumnya, Ranah3 Warna, Alif sempat melanglang
buana ke Canada untuk belajar disana. Inipun sempat membuat saya WOW, tapi
sedikit mengingatkan saya dengan buku ketiga Andrea Hirata dari trilogy Laskar
Pelangi, yaitu Edensor. Beda sih. Mirip dikit, hanya pas bagian belajar ke luar
negerinya. Yah, itu sih banyak buku bercerita tentang beasiswa ke luar negeri
kellesss… :D
Buku ketiga ini dibuka dengan kembalinya Alif ke tanah air,
disambut dengan cekikan ekonomi seiring datangnya krisis ekonomi. Sekedar membayar
kos pun dia masih harus merayu ibu kos, apalagi untuk mengirim uang bulanan
untuk Amak dan adik-adiknya. Untunglah, beberapa pihak kampus dan rekannya secara
tiba-tiba membantu, belum lagi kemampuan menulisnya yang semakin meningkat,
menyelamatkan dirinya dari momok krismon. Ternyata itu tidak lama. Krismon masih
menjadi momok baginya seusia kelulusannya dari universitas di Bandung. Momok yang
sebenarnya juga dialami banyak kalangan sekitar tahun 1998. Gonjang ganjing
pemerintah dan kekisruhan demonstrasi mewarnai menjelang jatuhnya Orde Baru
waktu itu. Atas desakan ekonomi dan juga harga diri demi memenuhi tantangan
sahabat sekaligus musuhnya, Randai, Alif merantau ke Jakarta.
Napas dihela lega setelah ia resmi diterima di
majalah Derap, majalah yang selalu berkata jujur yang sempat dibredel di masa
kekuasaan Orde Baru. Disinilah, ia kemudian bertemu dengan calon ‘muara’nya,
Dinara. Saya dulu sempat berharap, Alif bakal jadian dengan Raisa di buku
sebelumnya, hanya sepanjang membaca kisah Ranah 3 Warna, banyak keraguan Alif bakal berjodoh dengan Raisa. Dengan Dinara, saya sempat member spoiler pada
diri sendiri dengan membaca profil penulisnya, dan menemukan bocoran bahwa
inilah muara-nya Alif . Aw aw aw…. :D
Meski bekerja di tempat bergengsi macam majalah Derap, tidak
menyurutkan angan-angan Alif untuk mewujudkan cita-citanya yang ia rajut
bersama sahabatnya di Pondok Madani dulu. Pontang-panting mengejar berita di
pagi dan siang hari, belajar bahasa Inggris di malam hari secara otodidak dari
buku perpustakaan kantor. I can say that his effort really pays off in the
future. Ketika sebagian anak muda telah berpuas diri dengan pekerjaan yang
bagus, Alif terus mengasah kemampuan dirinya siang malam. Impiannya pun
terpenuhi dengan penawaran beasiswa S2 ke Amerika, sebuah Negara impian. Berangkatlah
Alif dengan membawa ganjalan akan perasaan mendalamnya pada Dinara. Porsi perasaan
Alif dengan maju mundur hatinya cukup membuat saya berpikir kok ini novel jadi
cenderung ke romens sih. Padahal harapan saya lebih dari mengejar cewek impian.
Hahaha…
Berada di Amerika, tetap membuat Alif terus terhubung
dengan Derap, secara professional juga secara emosional. Dinara yang memberi sinyal
positif, akhirnya mengiyakan ajakan Alif untuk mengarungi bahtera rumah
tangga. Kehidupan perkawinan tanpa pacaran tergambar indah dan menyenangkan,
hingga timbul masalah rumah tangga. Untunglah, ini bukan novel drama romens
yang focus pada masalah romens yang biasanya begitu-begitu saja. Kesetaraan antara
mereka berdua cukup membuka mata para pembaca. Keterbukaan Alif akan
kesempatan istri untuk mendampinginya secara professional cukup diacungi jempol
mengingat ia adalah lulusan Pondok Madani. Well, you know lah, berapa banyak
orang yang menolak pasangan bekerja demi harga diri lah, atau alasan-alasan
yang lain.
Selama di Amerika, banyaaak sekali hal menarik yang
diceritakan Alif, mulai dari kuliahnya, dosennya, pekerjaan sambilannya sebagai
penyobek tiket stadion, Mas Garuda yang menganggapnya sebagai adik, hingga kehidupan
relijius yang hidup di kampus. Yang paling mengharukan adalah interaksinya
dengan Mas Garuda, yang kisah kehidupannya cukup dramatis. Sayangnya, ending-nya
membuat hati mencelos. Tragedy 11 September benar-benar semua kalangan
terperangah dan mengutuk siapapun pelakunya. Dari ras atau agama manapun. Korbanpun
tak mengenal bangsa, ras dan agama. Siapapun yang naas bisa menjadi korban. Di bagian
ini, saya sempat membayangkan, Alif dan kru yang tergugu melihat berita live
dengan tragedy WTC ini, terlebih dengan keberadaan kenalan, saudara di tempat
kejadian. Melihat kembali video rekaman yang beredar di YouTube cukup
mendirikan bulu roma.
Overall, membaca buku ketiga ini membuat saya sedikit
menyesali masa muda saya yang meski tidak berhura-hura, tapi saya merasa masa
muda ya harus dinikmati dengan bersenang-senang, hang out, rumpi-rumpi…halah… Tak
heran, seorang Alif dengan jam terbang kerja keras yang tak pernah putus ini
menuai kerja kerasnya dengan manis. Lebih manis lagi dengan Dinara di sampingnya,
mendampingi dalam situasi apapun. Oh, I wish…. :D
0 Response to "Rantau 1 Muara by A. Fuadi"
Post a Comment