A untuk Amanda by Annisa Ihsani
Paperback 264
pages
Published 2016
by Gramedia Pustaka Utama
Rating 4/5
Apa itu distorsi
kognitif? Apa pula distorsi kognitif Meramal Nasib? Jangan jangan saya juga
mengalaminya? Apa saya termasuk depresi dan butuh Zoloft?
Ehhmmmm... Dalam
review di otak saya yang sibuk membuat lesson plan dan terjemahan yang menunggu
serta kepo terhadap satu komik yang efeknya belum hilang, saya rasa review ini bakal penuh curcolan
saya. Hmppp..
Amanda, gadis SMA yang merasa selalu beruntung karena
selalu bisa menjawab pertanyaan guru di kelas, sayangnya merasa dirinya menjadi
penipu ulung. Dia merasa dirinya tidak pintar, meski IP nya selalu 4.0; tidak
cantik, meski sahabatnya bilang ia cantik dan menjadi pacarnya; malas meski ia
mati-matian membuka buku pelajaran nya dan mengerjakan pe-er setiap saat. Apa
dia haus prestasi? Atau haus pujian? Atau mungkin haus perhatian dari teman
sekolahnya yang dipenuhi gadis dan cowok populer!? Pertanyaan yang terus
bergumul di benak Amanda ini yang kemudian membawanya ke psikiater.
Sebagai novel
young adult, novel ini sangat jauh dari romens cinta-cintaan, meski yah, ada
beberapa bagian ketika Amanda hilang separuh dirinya ketika ia putus dari
Tommy. Alih-alih romens menye-menye, novel ini mengajak saya berpikir yang
ditujukan pada diri sendiri. Sebagai
guru, meski terkesan cuek, saya merasa excited ketika mendengar kelas ini atau
itu mengharap saya kembali mengajar kelas itu lagi. Teriakan excited murid ketika saya kembali ke kelas itu membuat hati
saya mekar. Haus kah saya akan perasaan macam ini? Bagaimana jika satu kelas
tertentu menolak saya? Hmmmm.... hidup saya tidak berubah. Tak ada yang berubah di diri saya atau kelas
yang menolak dan diajar guru yang lain. Di satu sisi, perasaan ditolak ini
cukup menyakitkan tapi hidup saya tetap bergerak. Sedangkan Amanda, ketakutan akan distorsi kognitif meramal
nasib ini membutuhkan seorang psikiater.
Hmmm... Ada sedikit rasa bahagia dalam diri keuangan saya yang aman dari
rentetan konsultasi dengan psikiater hahaha....
Amanda menjadi
depresi karena ia feminis dan agnostik? Well, saya bukan feminis seperti itu.
Duluuu saya sempat tertular bacaan kakak saya yang sangat feminis. Sedikit
banyak 'paham' feminis itu masuk dalam kepala saya. Terus apa saya depresi? Oh,
hidup saya berlanjut kok. Banyak teman kantor yang usianya di bawah saya yang
menikah dan memiliki keluarga dan bercerita ini itu tentang keluarga, yang jelas jelas bertentangan dengan feminis,
saya memilih diam. Daripada dikatakan saya belum berpengalaman bla bla bla,
saya memilih menutup kuping saya dengan headset :D Suara Eric Martin atau Taka
One OK Rock lebih enak didengar daripada mendengar "Kata suamiku,
.....", " suamiku mana mau mengerjakan ini itu, ..". This is my own judgment, got nothing to say, well say it..... Gitu
lagunya One OK Rock wkwkwkwk....
Speaking about
agnostic. Hmmmm….. saya mengenal kata ini duluuuuu ketika salah satu materi
pelajaran membahas tentang agama (tsaaahhh…berat amat bahasannya yak?). Salah
satu vocabulary yang harus dicari kamus adalah agnostic. Meenurut Advanced
English Dictionary, agnostic means:
1.
As a Noun. someone who is doubtful or noncommittal about something
2.
As a noun: a person who claims that they cannot have true
knowledge about the existence of God (but does not deny that God might exist)
Saya
bukan seorang agnostic, saya berusaha tetap berjalan ‘di jalan yang lurus’
seperti doa saya selama ini. Tapi saya akui, iman saya ajeg, tak bertambah tak
berkurang. Tetap di jalan yang lurus, menurut saya itu sudah aman. Saya melihat
orang-orang di sekitar saya yang bertambah imannya dengan sangat drastic hingga
saya nyaris tak mengenalnya. Saya juga melihat orang-orang di sekitar saya
berubah keyakinan. Tapi ada juga mereka yang mengubah keyakinannya sekedar ‘percaya’
saja, atau bahkan ‘tidak lagi percaya’ hingga segala formalitas yang wajib
dikerjakan sudah dilepaskannya. Nothing to lose. Mereka punya jawaban jika ada
serangan menanyakan pada mereka akan kehidupan setelah mati. Tak ada lagi hal
yang bisa menggerakkan hati mereka, hingga apapun yang terjadi, mereka tetap
berjalan di jalan itu. Apakah mereka membutuhkan psikiater seperti Amanda? Saya
pikir hidup mereka tetap berjalan. Senyum, dan rileks menghadapi hidup tetap
ada pada mereka. Agnostic bukan alasan yang tepat bagi Amanda untuk menjadi
depresi, menurut saya.
All
in all, buku ini muatannya berasa ‘berat’ dengan sentuhan agnostic, terutama
untuk bacaan di Indonesia. Banyak yang kurang suka dengan buku kedua Annisa ini, kalo sih seneng-seneng aja, justr mengemblaikan reading slump saya yang selama beberapa minggu stuck di komik. Gaya bahasa mirip terjemahan, meski terkesan kaku, dan sedikit mengingatkan saya pada buku-uku terjemahan Meg Cabot, itu juga oke buat saya. Agnostic mungkin kurang mendapat ruang buat kalangan tertentu. Tau sendiri, banyak sekali di sekitar kita yang
akhir-akhir ini terlihat meningkat imannya dengan banyaknya program reliji di
TV, belum lagi social media, atau broadcast tausiyah langsung dari gadget. Tapi
bagi saya, sentuhan agnostic ini justru membuat saya berpikir lebih dalam
tentang iman saya sendiri yang selama memang ini ‘stabil’ tak beriak :D
0 Response to "A untuk Amanda by Annisa Ihsani"
Post a Comment