Simple Miracles: doa dan arwah by Ayu Utami
Paperback 177 pages
Published 2014 by KPG
Rating 4/5
Hantu tidak ada jika kita tidak memikirkannya (hal. 11)
Membaca buku ini mengingatkan saya pada kisah-kisah hantu pada waktu kecil dulu. Kisah yang tentu saja (untungnya) tak pernah saya alami sendiri. Semua kisah dihembuskan oleh tetangga kanan kiri yang lebih tua dan juga teman-teman sekolah. Kisah tentang Wewe, gendruwo, kendit nglewer, dan lainnya adalah kisah favorit yang mendirikan bulu roma. Begitupun dengan tempat-tempat yang konon angker yang ternyata berada di sekitar rumah saya; mulai dari tetangga sekian rumah dari rumah saya, hingga sekolah SD yang memang cukup seram di malam hari, meskipun itu adalah sekolah agama, dimana semua murid mengaji di pagi dan siang hari, dan konon menjadi tempat nongkrong hantu-hantu di malam hari. Yah, itu hanya konon sih...
Ternyata, apa yang saya alami ini tak jauh berbeda dari Ayu Utami kecil, yang membedakan adalah sumber kisah hantu seru ini berasal dari dua Bibi Gemuk dan Kurus-nya. Hal lain yang membedakan adalah Ayu mencatat sebagian kenangan masa kecil itu dan mengaitkannya dengan spiritualitas. Sosok Ayu Utami memang selama saya mengenal dari buku-buku nya adalah seorang sekuler, yang sedikit nyinyir dengan berbagai aturan agama. Sebelum saya membaca buku yang masuk kategori true story ini, saya membaca kisah asmaranya di Cerita Cinta Enrico. Jelas sekali pandangan seorang Ayu Utami disitu. Tak saya sangka, bahwa di buku ini, beliau bisa begitu relijius setelah mengalami fase tak beragama. Somehow, I feel happy but jealous at the same time.
Kisah dibuka dengan kisah-kisah hantu, kakak-kakaknya yang usil hingga ketakutan sekaligus keterikatannya pada sosok ibunya. Judul di beberapa bab awal cukup menyeramkan, meski isinya tak seseram judulnya. Sebagian menurut saya malah kocak. Kisah menjadi lebih seram begitu kelahiran sang ponakan, Bonifacius. Sang ponakan ini yang memberi kisah-kisah hantu menjadi real dan konsisten. Jika kisah hantu dulu bersumber dari orang-orang dengan awalan "kata si ini atau Fulan", hingga tak jelas juntrungannya.
" Nah, kalau lagi melihat arwah atau makhluk halus, kamu selalu melirik ke samping, sampai mata mu hampir kelihatan putih saja. Sebetulnya yang kamu lihat itu ada di depan mu, atau memang ada di ujung pandangan?"
"Yang aku lihat ada di depan ku".
Aku mengangguk-angguk. Jadi Bonifacius tidak melihat dengan anak matanya. Ia melihat dengan bidang putih matanya! Menakjubkan! (Hal. 38-39)
Selain berkisah tentang hantu, Ayu juga bercerita tentang Tuhan dan Tahun. Tiga kata dengan anagram yang bisa diutak-atik satu sama lain. Tiga kata ini pula yang menjadi judul bab dalam buku ini. Ayu mengaku dari kecil ia dididik menjadi seorang yang relijius hingga kemudian ia menanyakan ini itu, dan bertahun kemudian ia kembali ber-Tuhan secara dewasa dengan pengertian yang ia cari selama ini. Kisah lain tentang kedekatannya dengan sang ibu hingga beliau menghembuskan nafas terakhirnya menjadi suatu keajaiban yang tak pernah ia duga selama ini. Bayangkan saja, ia bukan anak favorit, bukan anak yang mau mendengarkan kata orangtua, tidak cukup berbakti, tapi doanya bisa mendampingi ibunya di akhir hayatnya terkabul. Banyak hal yang ia coba hubungkan dari suatu keajaiban, atau kebetulan atau sebaliknya, suatu takhayul yang menyeramkan
.
Overall, cukup susah membuat review buku true story yang didedikasikan untuk ibunya ini. Sang ibu yang dulu menurut saya sedikit 'aneh' di buku Cerita Cinta Enrico, menjadi sosok yang berbeda di buku ini: disiplin, relijius, keras sekaligus lembut dan penuh kasih sayang bahkan pada Bibi Gemuk, sosok antagonis dalam bayangan saya, juga seorang ibu dan istri yang sempurna. Saya menunggu seri Spiritualisme kritis berikutnya, atau kisah lain dari anggota keluarga Ayu Utami yang lain.
"...bercerita tentang Tuhan dan Tahun. Tiga kata dengan anagram yang bisa diutak-atik satu sama lain." kok bisa tiga anagram? bukannya 'Tuhan' & 'Tahun' cuma dua kata?
ReplyDeleteAku udah punya buku Ayu Utami (Saman & Larung) tp belum sempet kebaca. Ini masih baca bilangan fu [pinjem perpus], smoga kuat baca sampai akhir karena bukunya tebel banget,,, Aku suka ketika Ayu mengaitkan hal-hal mistis dalam ceritanya, smoga berkesempatan buat baca buku Simple Miracles juga!
Membuat review buku true story memang susah kak, setujuuu..hehe
ReplyDeleteAku penasaran dengan kalimat kakak yg mengatakan "...bahwa di buku ini, beliau bisa begitu relijius setelah mengalami fase tak beragama." Hmm kok bisa? Bukankah Ayu bersekolah di sekolah agama?
Btw, terimakasih kak reviewnya :)