Boy, Kisah Masa Kecil by Roald Dahl
Paperback 226
pages
Published by Gramedia
Pustaka Utama September 2004
Penerjemah Poppy
Damayanti Chusfani
Rating 4/5
Siapa tak punya
masa indah di masa kecil? Sepahit apapun, namun ketika tertuang dalam bentuk
kisah, selalu saja banyak hal menarik yang bisa diceritakan plus diambil
hikmahnya.
Boy, nama alias
kecil Roald Dahl, lahir di Llandaff,
Wales 1916. Bisa dikatakan Boy memiliki masa kecil yang indah dan menyenangkan.
Keluarganya termasuk keluarga besar kaya di Norwegia. Ayahnya di masa hidupnya
menginginkan seluruh anak2nya bersekolah di sekolah Inggris. Kakak adeknya yang
semuanya perempuan berhubungan sangat erat satu sama lain, meski dua di
antaranya adalah saudara tiri dari istri pertama Ayahnya yang meninggal.
Setahun sekali minimal mereka selalu berkumpul dalam liburan yang seru.
Masa kecil tak
pernah lepas dari kejadian lucu, nakal dan kadang menyedihkan. Buku yang
terbagi 3 masa ini masing masing menceritakan hal2 menarik nan lucu di masanya.
Masa pertama adalah masa ketika Boy duduk di bangku SD usia sekitar 7-9 tahun.
Tak banyak yang bisa ia ingat ketika masih duduk di bangku Taman kanak kanak.
Awal SD diwarnai dengan persahabatan Boy dengan kawan kawan barunya. Dahl,
Thwaites dsn dua teman lainnya sangat suka mampir di sebuah toko permen milik
Mrs. Pratchett. Meski tokonya sangat disukai anak2, tapi bukan jaminan anak2
menyukai pemiliknya yang galak dan jorok. Sekawan ini saking gondoknya dengan Mrs.
Pratchett hingga melakukan pembalasan dendam atas perlakuannya yang tidak
menyenangkan. Sayangnya, Mrs. Pratchett tak mau tinggal diam. Di dukung kepala
sekolah, Boy dan sekawannya juga terancam.
Permen favorite
anak2 ini salah satunya adalah Liquorice Bootlace. Khasnya anak2 yang serba
ingin tahu, mereka juga sangat penasaran dengan bagaimana liquorice ini dibuat.
Thwaites yang putra seorang dokter telah dicekoki ayahnya bahwa permen yang
mempunyai rasa mirip obat batuk ini dibuat dari bubur tikus. Dengan lihainya,
sang ayah mengarang cerita bagaimana perusahaan permen ini membuat permen
berbentuk seperti tali sepatu ini. Membayangkan cerita karangan ayah Thwaites
ini saja saya sudah mules. Bertahun lalu, ada seorang teman saya dari Belanda
yang bekerja sebagai native speaker di kantor saya, saat perpisahaan, ia
memberikan beberapa makanan khas negaranya. Antara lain liquorice ini. Dan
memang benar, rasanya tidak enak. Mirip bubur tikus yang dipadatkan dan trus
diinjak injak dan diiris tipis menyerupai tali sepatu. Hueekk.... hahaha...
Karena keisngan
Boy dan juga rasa tidak terima ibunya ketika anaknya disiksa di sekolah, sang
ibu memindahkan Boy ke sekolah asrama di St. Peter. Di sekolah ini ternyata tak
ada ubahnya dengan sekolah terdahulunya yang melegalkan siksaan pada murid
murid. Belum lagi para Matron atau kepala asrama yang bisa semena mena menyiksa
anak anak yang usil. Tak heran, di awal kepindahannya, Boy merasa tersiksa
hingga ia mengarang penyakit usus buntu hingga ia bisa dikirim kembali ke
rumahnya dan berkumpul bersama keluarganya. Hahaha… Disini, Boy tidak melulu
menceritakan masa sekolahnya yang cukup kelabu di St. Peter, dia juga
menceritakan indahnya berlibur bersama keluarga besarnya, mobil barunya yang
nyaris menghilangkan hidungnya, dan tentu saja keisengan yang luar biasa
terhadap tunangan kakak pertamanya.
Masa berikutnya
adalah ketika Boy masuk ke sekolah Repton high school. Lagi lagi kekerasan
dilegalkan disini. Para senior yang disebut Boazer (semacam prefek) bisa
seenaknya saja memarahi mereka karena kesalahan sepele. Belum lagi gaya hukuman
mereka yang sadis, menghajar dengan rotan di bokong para junior. Konyolnya,
mereka cenderung mengagumi hasil ‘lukisan rotan’ mereka di bokong ketika rotan
ini menyambar tepat di tempat yang sama. Tak ada yang menyangka kau memukulnya
lebih dari sekali di tempat yang sama karena begitu tepat sasaran. Ckckckck….
Di bagian ini,
Boy juga menceritakan kebanggannya akan dua cabang olahraga yang ia geluti, fives
dan squash. Di dua bidang ini, Boy sempat mencicipi ketenaran dengan menjadi
kapten untuk masing masing tim. Lucunya, jika sebelumnya sangat umum bagi
seorang kapten olahraga sekaligus menjabat sebagai Bozaer, tapi tidak bagi Boy.
Master Asramanya mengatakan bahwa Boy tidak akan bisa
melakukan asas asas ke-Boazer-annya dengan baik, yaitu dengan memukul para fag
(pendamping para Boazer). Selain menonjol di bidang olahraga, Boy juga
mempunyai hobi yang geluti dengan sangat baik, fotografi. Guru seni-nya sangat
mendukung hobinya ini hingga membuatkannya sebuah pameran di sekolah di
semester akhir sekolahnya. Guru2 yang selama ini begitu sengit padanya, dan
guru yang tak pernah menyapanya, rata rata memberikan apresiasi yang bagus. Bravo,
Boy.
Di bagian
akhir, Boy menceritakan bagaiman ia meraih karir setelah lulus dari Repton. Tak
perlu belajar di universitas baginya untuk mendapatkan pekerjaan yang sesuai
dengan dirinya. Keinginannya hanya satu, melihat tempat tempat eksotis yang
menantang, seperti Africa. Pekerjaannya sebagai penjual minyak dengan cepat
berganti menjadi pilot selama masa perang, dengan masih tetap menggeluti bidang
fotografi.
Masa
kecil Boy ini dituturkan berbeda dari kebayakan kisah hidup pada umumnya. Biasanya,
orang akan menceritakan sisi kehidupannya yang penuh inspirasi, penuh
penderitaan namun kemudian sukses di kemudian hari. Dengan gayanya, Roald Dahl
menceritakan masa kecilnya dengan konyol, jenaka, runtut, namun tetap menarik. Banyaknya
surat untuk ibunya di sepanjang halaman, menunjukkan betapa dekat hubungan
emosi mereka berdua. Sebagai pembaca beberapa buku buku Dahl, saya menemukan
cikal bakal kejadian yang kemudian membuatnya menulis buku buku anak lainnya. Saya
merasa bahwa ide ide seputar raksasa, coklat, penyihir dan lain lain sudah
mengendap disana ketika Dahl masih muda.
Sebagai catatan review terakhir, saya menemukan quotation yang terkenal ini di buku ini. Sedikit aneh ketika membacanya, karena biasanya saya membaca dalam versisi bahasa Inggrisnya:
"Bodoh sekali jika seseorang ingin menjadi penulis. Satu satunya kompensasi yang didapatnya hanyalah kebebasan. Ia tak memiliki atasan kecuali jiwanya sendiri, dan itulah sebabnya, aku yakin, ia menjadi penulis. (hal. 220)"
Huah, one of my fav book!
ReplyDeleteSuka banget sama cara Dahl bercerita :)
Dan yap, quote tersebut sangat berkesan juga karena bikin 'Ya elah, pak, be careful with what you wish for!' :P
aku mau jadi penulis. penulis hatimu.... *nyepikah
ReplyDeleteAaang... tapi tapi penulis itu kalo terlalu bebas bisa jadi kontroversial dong.. #eaa
ReplyDeleteI heart writer
mbak, kok tahu rasanya bubur tikus???
ReplyDelete