Unwind (Pemisahan Raga) #1 by Neal Shusterman
Paperback 455 pages
Published Agustus 2013 by Gramedia Pustakan Utama
Alih Bahasa: Merry Riansyah
Rating: 3,5/5
Ada banyak orang yang mendadak harus menjadi orangtua tanpa
kehendak. Ada banyak orangtua yang tidak siap menjadi orangtua. Tapi berapa
banyak orangtua yang ingin menyingkirkan anaknya dengan jalan menyerahkan
anaknya ke pemerintah sebagai persembahan dan menjadikan anaknya sebagai stock
organ transplantasi?
Connor, seorang anak dari sebuah keluarga yang kemudian
memutuskan ‘mengaborsinya’ setelah ia berusia lebih dari 13 tahun. Track
record-nya yang penuh masalah membuatnya menjadi seorang Unwind. Risa, tanpa
keluarga, hidup di rumah asuh semenjak ia kecil, berbakat sebagai musisi,
melakukan kesalahan sepele dalam pentas musiknya, menjadikannya sebagai unwind.
Levi Jedediah Calder alias Lev, berasal dari sebuah keluarga yang taat
beragama. Semenjak kecil, ia sudah dicekoki dengan paham betapa suci menjadi
seorang persembahan yang akan terus hidup dan berguna bagi orang lain.
Adalah sebuah Negara dengan undang undang kehidupan setelah
perang Sipil ke II yang disebut sebagai Perang Heartland, memberi wewenang pada
masyarakat untuk tidak melakukan aborsi. Sebagai gantinya, mereka bisa
‘membuang’ bayinya di sebuah rumah dimana si empunya rumah akan secara otomatis
menjadi orangtua asuh si bayi. Sementara si orangtua asuh, boleh menandatangani
sebuah kontrak untuk menyerahkan si anak dengan usia 13-18 tahun sebagai
persembahan bank organ transplantasi yang disebut sebagai unwinding atau
pemisahan raga.
Kebijakan yang sama sekali tidak bijak ini berlangsung
bertahun tahun. Beberapa anak unwind mengetahui bahwa mereka mempunyai pilihan
untuk menjadi bahan bank organ atau bertahan hingga usia 18 tahun dan bebas.
Bertahan inilah yang selalu menjadi masalah Negara: menghadapi anak2 unwind
yang biasanya bermasalah, membuat kekacauan, karena ketakutan dan kecemasan
mereka kehilangan raga meski dengan janji akan tetap hidup dengan cara berbeda.
Setting yang diambil berbelas tahun yang akan datang ini
bisa jadi adalah masa di masa adanya lonjakan populasi di Negara Negara besar.
Keluarga Berencana? Apaan tuh? Sudah basi. Tak ada lagi family planning, yang
ada adalah kelahiran baik yang diharapkan ataupun yang tidak diharapkan. Jalan
satu2nya yaitu dengan unwinding. Negara mensahkan bahkan mewajibkan bagi
keluarga untuk menyerahkan anggota keuarganya, agama mendukung kebijakan ini
dalam ayat-nya.
“Lev menghadiri pembacaan doa sesering yang diperlukan dan selama pelajaran Alkitab, ia mengucapkan hal hal yang benar secukupnya agar tak terlihat mencurigakandia juga selalu diam tiap kali ayat ayat Alkitab dikupas untuk membenarkan pemisahan raga dan anak anak mulai melihat wajah Tuhan di setiap penggalan ayat.” (382)
Situasi chaotic semacam ini menimbulkan berbagai macam
karakter di masyarakat. Sikap skeptic terhadap datangnya seorang bayi di teras
rumah, tak lagi menimbulkan rasa haru atau belas kasihan. Alih2 mengadopsi,
para calon orangtua asuh ini menggilir si bayi ke teras tetangga, dan ke
tetangga yang lain. Begitu terus menerus. Tak ayal, muncul pula karakter2
malaikat di tengah terror pengambilan raga ini. Sonia, wanita pemilik café,
menyediakan rumahnya sebagai shelter para unwinfd dalam pelarian.
“…. Satu hal yang harus kau pelajari jika kau sudah hidup selama aku—tak ada orang yang benar benar baik atau yang benar benar jahat. Kita keluar masuk di wilayah gelap dan terang sepanjang hidup kita. Saat ini aku senang karena berada di wilayah yang terang.” (Sonia, hal. 159).
Persoalan cinta menjadi bahasan yang kesekian di buku ini.
Bagaimana mungkin seorang ayah yang tega memberikan anaknya pada pemerintah
dengan kedok persembahan? Tidakkah ada cinta disana? Connor, meski sadar tak
menjadi yang utama dari sekian anak2 orangtuanya, tetap saja merasa terpukul
dengan tak ada cinta untuknya. Surat yang ia tulis berlembar lembar berisi
kekecewaannya terhadap keluarganya sekaligus rasa cintanya pada mereka.
“…. Seseorang tak punya jiwa hingga ia dicintai. Jika seorang ibu mencintai bayinya—mengignginkan bayinya—bayi itu mendapat jiwa sejak sang ibu mengetahui kehadiarannya. Saat kau dicintai, saat itulah kau mendapat jiwa. Punto. Titik.” (Hal. 237)
Comments:
Membaca novel ini pada awalnya saya merasa terpacu adrenalin
saya dengan kisah Connor. Risa dan juga Lev juga mempunyai daya hipnotis yang
sama. Sayangnya hingga ke tengah cerita, mulai munculnya tokoh Sonia dan
Laksamana, saya mulai berpikir, ini pengarangnya masih ‘baik hati’ menghadirkan
tokoh2 semacam mereka. Saya sudah berharap, sepanjang cerita saya akan
mendapati adegan sadis pengambilan organ tubuh, tapi ternyata tidak. Ada di
beberapa bagian sih, untungnya aroma sadis cukup tercium juga. Tapi masih
sangat kurang #bakatsadisyasaya inih…
Oya, selama membaca synopsis buku ini, seputar pemisahan
raga demi bank organ transplantasi, saya teringat dengan sebuah isu dari sebuah
olahraga plus meditasi yang saya ikuti awal tahun 2000an yang lalu. Selengkapnya bisa dibaca.
Novel dengan genre dystopia ini cukup asyik dinikmati tapi sayangnya, buat saya, The hunger Games lebih asyik. Ato mungkin ada unsur love triangle disana ya? Tapi Unwind ini jauh lebih menarik dibandingka trilogy Uglies yang macet di buku 3, meski dengan bumbu love triangle juga. Errrrr…. Mungkin juga karena PoV yang berubah ubah dari satu tokoh ke tokoh yang lain sehingga buat saya ini tidak cukup membuat jelas karakter seorang Connor seperti ini dan Risa seperti itu. Untuk terjemahannya, saya beri nilai bagus. Well, ini mungkin baru pertama kalinya saya membaca novel dengan penerjemah si Momo alias Merry Riansyah. Oya, Momo sempat jadi teman main SongPop yang alot hahaha… Good job :D
0 Response to "Unwind (Pemisahan Raga) #1 by Neal Shusterman"
Post a Comment