#23 Catatan Ichiyo by Rei Kimura
Catatan Ichiyo: Perempuan Miskin di Lembar Uang Jepang
Judul asli: A Note from Ichiyo
Penerjemah: Mochammad Murdwinanto
Published Maret 2012 by Gramedia
Pustaka Utama
Paperback 280 halaman
Rating 3/5
"Siapa yang tahu? Kau mungkin
akan menjadi sangat terkenal hingga suatu hari wajahmu akan muncul dalam salah
satu lembaran uang kertas Jepang". (hal. 173)
Siapa saja kah yang menghiasi
lembaran uang rupiah? Jika diperhatikan hampir semua lembar memasang wajah para
pahlawan baik pria maupun wanita. Semua orang berjasa besar untuk negeri
tercinta ini dengan menyumbangkan tenaga, pikiran hingga nyawa mereka. Ichiyo,
bukanlah pahlawan wanita Jepang yang mengangkat senjata demi negara tercinta,
tapi sumbangsih nya terhadap dunia sastra Jepang begitu besar hingga wajahnya
menghiasi lembaran uang 5000 yen Jepang lebih dari satu abad! Jadi, siapa
perempuan istimewa ini?
Ichiyo Higuchi, terlahir dengan nama Natsuko
Higuchi dari keluarga non Samurai yang akhirnya berhasil mensejajarkan diri
dengan keluarga Samurai. Lahir tahun 1872 sebagai anak ketiga keluarga Higuchi,
Furuya, sang ibu nyaris tidak menginginkan kelahirannya. Tapi si bayi tetap
bertahan seperti kehidupannya kelak yang keras dan ia tetap bertahan. Sejak kecil,
Natsu alias Ichiyo sudah menunjukkan bakat spesialnya yang didukung sepenuhnya
oleh ayahnya, Noriyoshi yang berharap si anak bakal membawa perubahan di
keluarganya. Sejak usia sangat belia, Natsu kecil sudah fasih membacakan
syair-syair klasik yang memukau rekan-rekan ayahnya. Ibunya, sebaliknya tidak
mendukung bakat putrinya karena apalah yang bisa dilakukan perempuan di era
Meiji selain melakukan tugas-tugas tradisional perempuan pada umumnya.
"Apa yang kau coba lakukan, Noriyoshi? Kita hidup di Jepang dan kau tahu posisi seorang wanita disini, kan?" (Furuya)"Aku percaya pada Natsuko dan masyarakat pada akhirnya akan mengakui bakatnya yang istimewa dalam kesusastraan dan menerima kenyataan bahwa bakat tersebut berasal dari seorang perempuan." (Noriyoshi) (hal. 51)
Natsuko tumbuh dengan kecintaan yang
luar biasa pada buku dan kesusasteraan dan keyakinan akan bakat besar dalam
dirinya. Sayang, era Meiji adalah era dimana perempuan masih harus melakukan
tugas-tugas tradisional. Penulis perempuan kenamaan semacam Nakajima tidak
memberikan kesempatan bagi gadis belia yang sedang menggebu-gebu dalam belajar.
Meninggalnya sang ayah semakin menutup pintu-pintu koneksi dan perkumpulan
sastra yang selama ini menjadi oase kehidupan bagi Natsuko.
Kesempatan kecil sempat muncul ketika
hati Natsuko tertambat pada Nakarai Tosui, penulis roman-roman picisan yang
tampan dengan kehidupan glamor. Tidak memedulikan reputasi buruk Tosui, Natsuko
tetap menemui pria yang mencuri hatinya ini dan sekaligus menjadi inspirasi
dalam novel-novelnya kelak. Tosui adalah pemilik koran dengan reputasi biasa
saja. Cerita-cerita Ichiyo muncul disana tanpa bayaran yang sepandan. Sementara
keadaan finansial keluarga Higuchi semakin terpuruk kian hari. Berpindah dari
satu tempat kumuh ke tempat kumuh yang lain harus dilakukan. Berganti pekerjaan
demi kondisi keuangan dan sementara berhenti menulis sempat dilakukan, namun
sama sekali tidak memperbaiki keadaan.
Natsuko seolah diciptakan untuk menikmati penderitaan berkepanjangan.
Akhir yang manis setelah berlembar
-lembar saya membaca buku ini akhirnya terasa di sekitar 20 halaman terakhir.
Itu pun masih harus bersiap diri menemukan kenyataan pahit di akhir hayat
penulis di usianya yang ke-24. Hmmm.... Begitu pahitnya kehidupan seorang penulis
perempuan di era Meiji meski pada akhirnya muncul penerimaan publik bahwa
Ichiyo Higuchi layak diperhitungkan.
Ichiyo Higuchi bagaikan nyamuk menjengkelkan yang menolak pergi meski sudah ditepuk berkali-kali. Pada akhirnya, bahkan para pria yang gemar menyepelekannya sebagai seorang wanita dengan gangguan mental tak layak diperhitungkan dan tidak mungkin menorehkan namanya dalam dunia sastra Jepang yang didominasi kaum pria, sekarang terpaksa mengakui.....(hal. 244)
Unsur-unsur Asia khususnya Jepang
sangat terasa di buku biografi setebal 280 halaman ini. Beberapa istilah umum
yang bisa ditemukan di novel Jepang lainnya juga digunakan disini, misalnya futon
(semacam kasur/matras tipis), ryokan (penginapan), kebiasaan melepas
sandal di genkan yang cukup saklek, hingga istilah-istilah kumpulan
sastra waktu itu; bundan (komunitas sastra). Jenjang strata keluarga sangat kental
di era Meiji (1868-1912), tidak heran jika Noriyoshi begitu berhasrat menaikkan
status keluarga mereka setara dengan Samurai. Mindset yang berhubungan dengan
status juga sangat kental di era kekuasaan Kaisar Meiji ini, yaitu pedagang
lebih rendah posisinya dibandingkan petani (hal. 181).
Membaca buku ini dengan bab pertama
yang menceritakan akhir hayat si tokoh utama serasa saya membaca sambil
menunggu kematian. Terus terang, saya merasa sia-sia membaca dengan akhir yang
sudah jelas di awal kisah. Belum lagi kondisi memprihatinkan yang mewarnai
kehidupan si tokoh utama di akhir hayatnya juga bakal saya 'nikmati' sepanjang
buku. Pahit memang. Tapi paling tidak, Rei Kimura si penulis Catatan Ichiyo ini
mencoba menularkan spirit pantang menyerah yang dimiliki Ichiyo dalam kondisi
seburuk apapun. Deskripsi penderitaan Ichiyo juga terasa panjang dan lama
membuat saya geregetan kapan si gadis dalam lembar uang Yen ini bakal menemukan
kebahagiaan. Saya juga cukup geregetan dengan keputusan Ichiyo yang nyaris 'menjual
diri' pada lelaki kaya demi mendapatkan 'kebahagiaan' bagi dirinya dan ibu
serta adiknya. Bagaimana mungkin, seorang gadis keras kepala dengan bakat besar
seperti dirinya berpikiran sempit untuk melacurkan diri? Hmm... Mungkin saya
saja yang kurang tau kondisi di masa itu. Tapi tetap saja saya geregetan.
Overall, kisah kehidupan Ichiyo
Higuchi ini cukup menginspirasi pembaca yang berpikir akan menyerah dari
keadaan. Berikut karya-karya Ichiyo selama hidupnya. Kelima novel ini aktif ia
tulis sepanjang tahun 1895-1896 menjelang akhir hayatnya di bulan November
1896. Semuanya ia tulis berdasarkan pengalaman, pengamatan, observasi yang
teliti hingga menjadikan novel-novelnya meraup kesuksesan dan menjadikannya
wanita yang 'hidup' sepanjang jaman di lembar uang 5000 Yen.
1. Child's Play.
2. Separate Ways
3. On the Last Day of The Year
4. Troubled Waters
5. The thirteenth Night
Tentang Rei Kimura:
Note:
Posting ini saya sertakan dalam
Posting Bareng BBI dengan tema Sastra Asia bulan Juni 2014.
Kemarin aku hampir review buku ini untuk posbar tema wanita... tapi malas bikin reviewnya dan malah milih buku Sidney Sheldon.
ReplyDeletePadahal rencananya mau ngerendengin uang 5000 yen Ichiyo dengan uang 10.000 rupiah-nya Kartini dan Cut Nyak Dien :P (angkanya kelihatan lebih gede, tapi nilai intrinsiknya sih jauh...)
eh ternyata nggak tebel tebel banget ya, bukunya. dulu mau baca tapi kok.. awang awangen, ngga suka kavernya x_x
ReplyDeleteduuuh kayaknya suram banget kehidupan ichiyo ya :( suka stress sendiri baca kisah nyata yang penuh penderitaan..
ReplyDeletemau komentar apa, ya? bingung. terharu dengan perjuangan beliau. :')
ReplyDelete