#32 Negeri Senja by Seno Gumira Ajidarma
Paperback, 244 pages
Published 2003 by Kepustakaan Pustaka
Gramedia (KPG)
Rating 3,5/5
Syahdan, ada sebuah tempat dimana
matahari tak pernah tergelincir ke peraduannya, dan tak pernah terbit terang di
pagi dan siang hari. Tempat itu bernama Negeri Senja, sebuah negeri dengan
pemandangan redup sore hari, sebuah negeri yang selama beratus tahun menanti
kedatangan seseorang yang akan menyingkirkan kutukan negeri dengan naungan
senja sepanjang masa.
Syahdan, datanglah sang pengembara
yang penasaran dengan Negeri Senja, yang selalu mencatat keindahan,
kemustahilan, dan kejahatan yang melanda Negeri dengan bahasa khusus Negeri
Senja. Apakah sang pengembara ini adalah sosok yang ditunggu para penduduk
Negeri Senja. Ternyata bukan, dan saya kecewa.
Syahdan, negeri berbalut senja ini
dipimpin oleh Puan Tirana, sang Penguasa yang Buta. Meski buta, Puan Tirana ini
telah memimpin negeri ini selama lebih 200 tahun! Sang Puan ini didampingi para
Pengawal Kembar dengan senjata rahasia yang siap membabat siapa saja yang
berniat menggulingkan sang Penguasa yang buta. Berada di bawah pimpinan sang
Puan yang konon bisa membaca pikiran para penduduknya hingga memenjarakan
jiwa-jiwa yang telah melayang untuk disiksa karena berniat menggulingkan
pemerintahannya. Bisa dibayangkan bagaimana kondisi negeri penuh senja ini,
bahkan pikiran pun bisa dibaca sang penguasa bagaimana dengan bisik-bisik
rencana makar?
Syahdan, diantara penduduk yang diam
tunduk terhadap kekuasaan sang Tirana, terselip cikal bakal pemberontak seperti
Rajawali Muda dan Komplotan Pisau Belati. Yang disebut terakhir bisa saja
saling bermusuhan tergantung mereka bekerja untuk siapa. Yap, komplotan pisau
belati ini akan bekerja bagi siapa saja yang berniat menggunakan jasanya. Sang
Pengembara, sebagai pendatang, memposisikan diri seutuhnya sebagai tamu, tak
lebih. Hingga suatu hari, komplotan fakir miskin memberinya kesempatan untuk
membantu perjuangan penduduk tertindas. Apakah sang pengembara kemudian menjadi
pahlawan dengan menumpas kekuasaan tiran Tirana? Hmmmm...
Syahdan, terjadi juga suatu perubahan
di Negeri Senja dengan datangnya sang Pembicara yang mangkal di tepi sungai.
Sang Pembicara ini sukses didatangi para penduduk yang kemudian menjadi para
murid bertempat di tepi sungai. Para murid alias penduduk yang tak pernah
mengenal ilmu bebas bertambah dari hari ke hari. Sang Pembicara itu membangun sebuah dunia
penuh kedamaian. Para pendengarnya bagaikan terbangun dari tidur yang panjang
dan baru menyadari betapa dunia ini penuh dengan makna (hal. 125) .
Khotbahnya diamini para murid yang terus bertambah dari hari ke hari. Negeri
ini seperti bangun dari mimpi panjang, dengan mencatat banyaknya perubahan yang
terjadi sejak kedatangan sang Pembicara di Tepi Sungai: penduduk mulai membuka
kerudung penutup wajah, hingga terlihat senyum mereka, pasar tak lagi lengang,
diisi dengan atraksi musik, badut, atraksi akrobat, tari-tarian dsb, mereka
seolah tak peduli dengan mata-mata istana Negeri Senja. Apa yang bisa
dilaporkan sekaligus dicurigai dari aktifitas yang normal di negeri lain, tapi
tidak di Negeri Senja?
Konon, dan hanya konon, pemberontakan
pun terjadi. Tumpah darah di tanah kering Negeri Senja yang temaram. Sang Puan
Tirana yang bengis menghadapi pemberontakan rakyatnya...
***
Sebetulnya sedikit galau menganggap
Negeri Senja ini sebagai kategori cerita silat. Sang Pengembara yang bercerita
tak memiliki kemampuan kanuragan seperti kisah-kisah dalam cerita silat pada
umumnya. Dia hanya berkisah yang ia tujukan pada dua perempuan yang menghuni
hatinya: Alina dan Maneka. Bahkan, di goodreads review, genre buku ini masuk
Roman. Teman saya mengatakan ini masuk kategori surealis. Bingung lah saya.
Tapi sepanjang membaca, saya terus mencari unsur-unsur silat di dalam novel
ini. Semakin jauh, saya semakin yakin bahwa Negeri Senja masuk kategori cerita
silat dengan beberapa kekurangan seperti yang saya sebutkan tadi. Meski
demikian, pertarungan antara tentara Sang Puan Tirana dan para pemberontak yang
banyak menggunakan senjata rahasia serta belati yang melayang-layang, ditambah
dengan kostum para karakter yang terilustrasi di halaman awal, semakin meyakinkan
genre novel ini :D
Ini adalah pertemuan saya yang kedua
dengan Seno Gumira Ajidarma (SGA). Sebelumnya, saya pernah membaca kumpulan
cerpennya yang berjudul Matinya Seorang Penari Telanjang. Dan saya sukses
bingung dengan bahasa sastra serta keabsurdan tulisannya. Hahaha.... Dan saya
berpikir, mungkin kisah roman ini akan lebih mudah saya pahami dibandingkan
dengan kumcer itu. Dan, saya salah. Well, sebenarnya Negeri Senja ini cukup
menarik dan membuat saya penasaran, namun apa daya, narasi panjang-panjang
serta monolog sang pengembara sukses membuat saya tekluk-tekluk tiap 3-4
halaman ;D
Awalnya, saya sedikit repot dengan
gambaran penulis tentang negeri yang tak pernah mengenal pagi, siang atau
malam. Hitungan haripun menjadi kacau. Benarkah Tirana memerintah negeri ini
sudah lebih dari 200 tahun? Lambat laun,
saya cukup terbius dengan keindahannya melalui deskripsi penulis. Beberapa
karakter baik protagonis atau antagonis seolah menyindir sebuah negara yang
cukup familier. Sebuah negara yang dipenuhi intrik politik, penindasan dan
tentu saja perlawanan.
Aku terbangun di kamar penginapan dengan kelebat kesadaran bahwa penindasan akan selalu mendapat perlawanan -- meskipun perlawanan itu hanya akan ada di dalam pikiran (halaman 101).
Tak hanya di sebuah negara, namun di
lingkup kecil keluarga pun, terkadang ketidakpuasan akan sebuah keputusan tak
selalu berbuah perlawanan real, namun hanya berkecamuk dalam pikiran.
Overall, saya cukup menikmati kisah
setengah absurd dari SGA ini. Entah apakah saya akan membaca buku karyanya yang
lain, saya kudu menyiapkan hati, mood dan otak prima :D
Posting ini saya sertakan dalam
posting bareng BBI bulan September dengan tema cerita silat.
0 Response to "#32 Negeri Senja by Seno Gumira Ajidarma"
Post a Comment