#34 Between Shades of Gray by Ruta Sepetys
EBook format
Published March 22nd 2011 by Philomel
Books
Rating 4,5/5
Sebelumnya, saya hanya mengenal
Hitler yang catatan genocide nya terhadap bangsa Yahudi begitu memilukan.
Sebelumnya, saya hanya mengenal Stalin begitu saja, tanpa tahu siapa sosok
populer ini. Dan saya mengenal 'kekejamannya' di buku ini dari kacamata Lina
Vilkas.
Lina, gadis 15 tahun biasa yang
menyukai melukis segenap jiwanya, mempunyai keluarga yang saling mengasihi dan
rumah yang nyaman di Lituania. Segalanya lenyap dalam sekejap setelah
penjemputan paksa tentara Rusia terhadap rakyat sipil dari keluarga terpelajar.
Lina juga harus terpisah dari ayah tercintanya.
Lina, ibu dan adiknya Jonas diangkut
di sebuah kereta gelap gulita, berjubel dengan puluhan, mungkin ratusan orang
lainnya, termasuk ibu muda yang baru saja melahirkan bayinya. Berhari-hari
mereka tersekap dalam kereta gelap dengan tulisan besar-besar di punggung
kereta "Prostitute and Thieves". Semua kegiatan dari mulai makan,
tidur, aktivitas buang air besar dan kecil dilakukan di sebuah lubang khusus,
hingga menjaga kewarasan dilakukan di dalam gerbong kereta tanpa tahu dimana
dan kapan mereka akan berhenti.
Di dalam gerbong kereta itu, ada
banyak keluarga lain yang bernasib sama, ingin tahu dimana kepala keluarga
mereka berada, termasuk Andrius dan ibunya yang cantik. Perjalanan gerbong ini
akhirnya berakhir di sebuah tempat yang bernama Altai (Republik Altai terletak
di distrik Serbia, Rusia). Rakyatnya yang miskin dipaksa menampung para imigran
paksa ini. Disini mereka harus bekerja keras: menanam kentang dan buah beet,
dan menggali lubang yang diperuntukkan bagi mereka imigran, yang mati. Para
wanita dipaksa membangun barak-barak baik bagi tentara Rusia yang bergelar NKVD
ataupun untuk mereka sendiri. Pekerjaan ini dipersulit dengan minimnya bahan
bangunan serta cuaca musim salju yang kejam.
Meski terpencil jauh, namun suhu
politik panas di Negara mereka terasa hingga di tempat penampungan. Stalin yang
kalah melawan Hitler dan Hitler yang digadang-gadang bagi para imigran ini
bakal menyelamatkan nasib mereka. Namun kenyataan lain berbicara. Mereka tetap
tersekap hingga belasan tahun kemudian…
***
Membaca buku ini saya merasa duduk di
kursi yang di beberapa tempat terdapat paku yang bakal mencuat dan menusuk
pan*at saya. Bagaimana tidak, kekejaman tentara Rusia ini sering kali membuat
saya terpekik ngeri atau mengeluh sedih. Penggambaran dari suasana kumuh serta
kemiskinan para imigran ini hingga penyakit menggeroti satu persatu karakter
kesayangan saya. Seperti biasa, sebagai penyuka happy ending story, saya
kepengen si ini jangan mati, si itu juga. Tapi ternyata si pengarang ‘tega’
mematikan si ini atau si itu. Meski suram, si penulis masih menyelipkan humor
satir yang cukup membuat saya tersenyum pedih. Simak saja:
“Oh, yes, a piece of black forest torte and a cognac or two,” laughed Mrs. Arvydas.“I’d love a nice hot coffee,” said Mother.“Strong coffee,” added the bald man.“Wow, I never thought it could feel so good to be clean!” exclaimed Jonas, looking at his hands.
Humor ini
terselip setelah kereta yang membawa mereka berhenti dan mereka diperintahkan
mandi. Mandi? Sempat saya ketakutan dengan adegan mandi ini teringat kisah
mandi di The Boy in Striped Pajamas. Tetapi ternyata saya salah :D #legaaa
Lina, si
main character disini sangat mewakili pearasaan, observasi serta perlawanan
rakyat sipil terhadap penguasa. Kemarahannya sering kali mengundang bahaya bagi
dirinya. Bukan sesuatu yang yang frontal, namun perlawanan ini ia tuangkan
dalam lukisannya. Daya imajinasinya yang
liar membuat saya penasaran akan lukisan Lina. Kekagumannya terhadap pelukis
dari Jerman Edvard Munch sedikit memberi gambaran saya akan seperti apa lukisan
Lina.
It started. Snakes slithered out of his collar and wrapped themselves around his face, hissing at me. I blinked. A gray skull sat on his neck, its jaws flapping, laughing.
Hih…
sebegitu liarnya imajinasi Lina untuk bayangan seseorang yang begitu ia benci
yang pernah melakukan pelecehan seksual terhadapnya.
Untuk membantu saya sendiri membayangkan lukisan Lina, saya mencoba browse lukisan milik Edvard Much. Beberapa yang mungkin mewakili imajinasi Lina ada di beberapa lukisan berikut ini
sumber Google
Membaca novel
historical fiction ini seperti membuka luka lama Perang Dunia II (topic yang
sebenarnya saya suka, tapi miris selama membaca novelnya L). Dan tentu saja mau tak mau, saya
yang buta akan sejarah PD II dan derita Negara-negara yang berkondlik waktu
itu, membuat saya kembali belajar sejarah dan mengenal nama-nama besar yang besar
karena keberhasilannya menaklukan dunia sekaligus menorehkan sejarah kejahatannya
terhadap manusia. Meski diberi label Children literature, dengan memasang Lina, bocah 15-16 tahun,
muatan kisah di dalam novel ini membuat saya terpana sekaligus miris. Apalagi dibagian
akhir kisah, penulis menyebutkan semua kejadian di novel terinspirasi oleh
kisah nyata yang didapaatkan penulis dari wawancara para survivor imigran
Lithunia.
Saya suka novel ini!! Lumayan, bisa melihat dari sudut pandang negara lain sewaktu zaman Hitler
ReplyDeleteAku juga sukaaaaa..
Delete