Sylvia's Letters by Miranda Malonka
Ebook Ijakarta, 204 pages
Published April 6, 2015 by Gramedia Pustaka Utama
Rating 3,5
Apa yang menjadi persoalan bagi para remaja saat ini? Krisis
percaya diri? Orangtua yang dominan? Jam sekolah yang terlalu padat? Stress
karena terlalu banyak belajar dan terlalu banyak kursus sesuai keinginan
orangtua? Atau mungkin terlalu percaya
diri yang kebablasan, hingga segala kehidupan pribadinya terekspos
habis-habisan demi menjadi semacam goals
bagi orang lain? Seperti yang sedang viral sekarang ini, remaja baru lulus SMA
yang heboh menjadi idola abegeh sekaligus menjadi gunjingan para orangtua, atau
para mantan remaja. You know what mean. (Ga mau membuat dirinya makin terkenal
dengan menyebutkan namanya disini :))
Sylvia, remaja SMA 16 tahun, seperti banyak karakter yang
ada di novel novel remaja yang saya baca, adalah gadis biasa yang lebih memilih
tidak terkenal, suka melukis abstrak yang disesuaikan dengan mood-nya saat itu,
jatuh cinta jungkir balik dengan Anggara, dan memilih menulis surat-surat nan
panjang dengan tangan, alih-alih mengungkapkan perasaannya pada cowok itu.
Meski Sylvia ini seperti gadis biasa umumnya, tapi ternyata ia memiliki
penyakit tentang tubuh ideal. Dia terobsesi dengan tubuhnya sendiri yang berasa
gendut, terobsesi menghitung segala kalori yang masuk dan berapa kalori yang
harus dibuang demi mendapatkan tubuh kurus idamannya. Tidak disebutkan, Sylvia
ini mengidolakan siapa hingga ia memiliki obsesi macam ini. Ia hanya khawatir
ia tidak cukup kurus untuk berada disamping Anggara. Yup, benar, Sylvia ini
ternyata mengidap bulimia nervosa, penyakit yang kurang umum diidap remaja di
Indonesia.
Kehidupan Sylvia yang biasa dengan surat-suratnya untuk Anggara
mulai berubah ketika akhirnya mereka berkesempatan ngobrol. Berlanjut dengan
berdiskusi, jalan bareng dan akhirnya memutuskan bahwa mereka memiliki status
TSS, Teman Saling Suka hahaha... Hari-hari Sylvia mulai berganti warna hingga
kemudian Anggara pergi, para sahabatnya muncul dengan masalah mereka, dan
sebagai sahabat, Sylvia merasa bertanggungjawab dalam masalah mereka.
Buku ini sangat sarat dengan masalah remaja yang sering
dialami para remaja pada umumnya. Andy, si anak kedua yang selalu menjadi orang
kedua setelah sang kakak bagi orangtuanya; Scarlett, dengan adiknya yang masih
13 tahun terjerumus dalam pergaulan bebas dan akhirnya melakukan percobaan
bunuh diri, dan satu sahabatnya yang lain (eh, saya lupa namanya), yang sibuk
berusaha menentang orangtuanya dengan bekerja paruh waktu sebagai tentor, alih-alih
belajar untuk persiapan ujiannya sendiri. Yup, buku ini seperti nya wajib baca
bagi para remaja yang memiliki masalah seperti itu, atau orangtua yang memiliki
anak menginjak remaja. Betapa perhatian orangtua pada anak tidak harus saklek,
hadir ketika si anak memiliki masalah dan menjadi temannya adalah hal yang dibutuhkan
selain sandang pangan dan pemenuhan kebutuhan tersier. Saya juga heran
bagaimana mungkin orangtua Sylvia tidak menangkap gejala bulimia nervosa pada
anaknya hingga penyakit itu menjadi ancaman nyawa bagi anggota keluarga mereka?
Saya melihat, Sylvia ini hidup di keluarga yang cukup harmonis, dibanding Andy,
yang berulangkali kesal dengan orangtuanya dan saudara-saudaranya yang lain
yang sibuk membandingkan dirinya dengan sang kakak. Atau Scarlett atau sahabat
satunya lagi itu. Sylvia hanya memiliki pandangan yang salah akan obsesi
kurusnya. Kesadaran akan penyakit yang mengancam jiwanya berganti menjadi
obsesi hitungan kalori dan muntahan dari tiap sendok yang masuk dalam mulutnya,
alih-alih berkonsultasi dengan orangtuanya.
Membaca novel dengan model surat begini sebenarnya bukan hal
yang baru bagi saya. Dulu saya pernah membaca novel Meg Cabot dengan model
serupa, yaitu email yang bertubi-tubi. Yang membedakan adalah surat ini hanya
ditulis satu orang kepada beberapa orang lainnya. Tidak terlalu membosankan
sebenarnya membaca surat-surat Sylvia, saya hanya membayangkan energy darimana
Sylvia menulis surat sepanjang ini, berlembar-lembar dengan asupann makanan
yang nyaris tidak ada? Well, itu kalo saya sih, yang kurang suka menulis tangan
hehehe… overall, ini bukan novel biasa, ini bisa jadi pelajarn bagi para remaja
sekaligus orangtua untuk lebih mawas diri akan persoalan remaja saat ini.
0 Response to "Sylvia's Letters by Miranda Malonka"
Post a Comment