The Kite Runner by Khaled Hosseini
Paperback 616
Published by Qanita, Maret 2006
Penerjemah: Berliani M. Nugrahani
Rating 4/5
“Untukmu, keseribu kalinya”.
Quote ini berasa sangat biasa pada saat yang sama juga membuat
hati saya pilu. Bahkan ketika menonton clip potongan film ini di YouTube, meski
tanpa subtitle, pada saat yang tepat, saya bisa tahu bahwa Amir menirukan kalimat
Hassan ini pada anaknya. Demikian juga para pemberi komentar yang lain
rata-rata mengatakan kalimat yang sama.
Amir dan Hassan adalah anak-anak yang tumbuh sebelum masa
penjajahan Russia di Afghanistan. Tentu saja mereka memiliki masa-masa bahagia,
apalagi dengan kekayaan ayah Amir. Hassan, sebagai anak pembantu, seolah sudah
dianggap anak sendiri oleh ayah Amir, tapi bagi Amir sendiri, Hassan bukanlah
seorang teman. Adik? Amir masih ragu untuk mengakuinya. Meski tinggal di tempat
yang sama, namun masa lalu Hassan yang memiliki ayah dan ibu keturunan Hazara,
keturunan yang tidak dianggap bagi warga Afghanistan, cukup membedakan status
mereka di masyarakat. Hazara, konon adalah anak keturunan dari bangsa Mongol
yang masih tinggal di Afghanistan. Siapapun ia, selama ada darah Hazara
mengalir di tubuhnya, maka nistalah hidupnya.
Kehidupan kanak-kanak mereka dihiasi dengan berbagai macam
permainan seru, mulai dari permainan kartu, hingga layang-layang. Satu lagi
yang membedakan antara Amir dan Hassan, anak keturunan Hazara tidak belajar
membaca. Yang terjadi kemudian adalah Hassan hanya menjadi pendengar cerita
yang baik dari buku-buku yang diceritakan oleh Amir. Dari sini pula, kelak Amir
mengetahui akan jadi apa ketika dewasa nanti. Tidak menjadi seperti ayahnya
yang sibuk berbisnis, melainkan menjadi penulis.
Masa kanak-kanak belum lagi lewat ketika satu peristiwa memilukan
terjadi pada Hassan hingga membuat Amir merasa bersalah, rasa bersalah yang ia
bawa hingga mengusir keluarga Hassan dari rumahnya. Apakah Amir memang terlahir
sebagai pengecut? Sesuatu yang harus ia buktikan kelak di kemudian hari.
Masa-masa tentram Afghanistan akhirnya berlalu setelah
kependudukan Russia, muncullah rezim Taliban, suatu masa ketika Amir dan
ayahnya memilih bermukim di Amerika. Di sana, mereka yang tadinya kurang
memiliki hubungan yang harmonis, akhirnya hubungan mereka membaik. Selama mereka
tinggal di Amerika, Afghanistan tetap bergolak. Amir beranjak dewasa, demikian
juga Hassan. Amir mulai menikah, bagaimana dengan Hassan? Rasa bersalah Amir
masih tetap ia bawa hingga panggilan dari sahabat masa lalunya, Rahim Khan,
membawanya kembali ke Afghanistan. Mau tak mau, Amir harus menghadapi masalah
masa lalunya, dan menebusnya sekaligus menerima kenyataan pahit tentang ayah
yang selama ini ia kagumi.
Duluuu, saya sempat menonton film ini melalui VCD yang saya
pinjam dari rental langganan. Kesan saya akan film ini kurang mendalam. Saya justru
merasa film Afghanistan ini sangat berbau Amerika. Bagaimana tidak, para
aktornya berbicara dalam bahasa Inggris-Amerika, dan pelarian para karakternya
ke Amerika membuat saya berpikiran bahwa Amerika tengah jualan propaganda-nya
di film ini. Itu sebelum akhirnya tahu bahwa film ini menggunakan bahasa
aslinya, dan yang saya tonton itu sudah melalui proses dubbing.
Itulah juga mengapa, saya butuh waktu yang sangat lama untuk
mulai membaca buku ini, sekedar untuk melupakan konflik utama film ini hingga
nanti saya bisa menikmati bukunya. Dan ternyata saya berhasil. Saya sangat
menikmati buku ini, ikut sedih dengan apa yang dirasakan Hassan, dan sebal pada
kepengecutan Amir hingga miris dengan apa yang dilakukan Taliban. Satu hal yang
membuat saya sedikit complain akan buku ini justru pada dramanya. Saya merasa
buku yang sudah sarat konflik ini terlalu banyak drama hingga di hampir akhir
cerita. Capek saya, Amir jan hahahaha… Saya bahkan siap buku ini tidak akan berakhir
happy meski saya sudah menghabiskan 600 halaman (berasa sia-sia bacanya).
Setelah membaca bukunya, saya merasa ingin kembali menonton
filmnya, dan saya ingin kali ini filmnya menggunakan bahasa aslinya. Sayangnya,
yang tersedia di YouTube adalah film yang menggunakan bahasa aslinya, namun
tanpa teks. Sebetulnya sih ngga masalah, wong saya barusan menyelesaikan bukunya.
Tapi tetap saja menonton film dengan durasi lebih dari 2 jam tanpa teks itu
seperti menonton pantomime :D . Namun, saya sempat membuka beberapa clip
potongan adegan dengan judul yang tersedia di YouTube; mulai dari adegan
mengejar layang-layang, Amir yang emosi mengusir Hassan, hingga pertarungan
Amir dan Assef. Dan begitu menontonnya, saya merasa adegan filmnya kurang
mewakili perasaan saya ketika membaca buku ini. Adegan luka-luka Amir kurang parah,
begitu juga dengan pertarungannya yang terlalu singkat. Well, mungkin saya terlalu
berharap banyak pada filmnya yang cukup fenomenal tahun 2007 lalu. Hmmmm…
seharusnya saya nonton tanpa membandingkan buku dan film? Jelas tak bisaaaaa :D
Overall, membaca buku ini di tengah gempuran dorama Jepang
yang tertimbun di tablet saya cukup membuat suasana otak saya sedikit berubah. Selingan
yang sangaat menyenangkan. Tapi sementara saya butuh jeda untuk meneruskan
karya Khaled Hosseini lain yang sudah tertimbun sekian lama juuga, The Mountain
Echoed. Target baca tahun ini deh :))
saya juga pernah baca terjemahan novelnya. Dan kalau kakak bilang buku ini banyak dramanya, saya setuju. Tapi kenapa ya saya suka suka aja sama dramanya.. Hehe. Terus kalau yang ending, emang sih menurut saya gak happy ending, justru kayak nggantung gitu soalnya endingnya lagi ngejar ngejar layangan doang hehe
ReplyDeleteSaya bisa baca buku ini berkat salah seroang teman yang menghubafkan bukunya. Dan berhasil saya lahap dalam waktu seminggu.
ReplyDeleteSelama membacanya saya pun kerap membandingkan dengan filmya, yaa khas saya banget sih emang. Hahaa
Dan saya setuju sih, buku ini agak terlalu sarat drama. Entah untuk memperpanjang cerita atau halaman, tapi saya masih menikmatinya. Meskipun terkadang banyak adegan yang mirip sinetron.