Rule of Thirds by Suarcani
Ebook from Scoop 286 pages
Published December 27, 2016 by GramediaPustakaUtama
Rating: 3/5
Ada sedikit rasa penasaran ketikateman-teman saya di grup Joglosemar
membicarakan novel ini. Ada yang katanya sedih hingga mewek.Wah, sudah lama saya
ngga bersedih-sedih ketika membaca novel.Terakhir sih baca novel-nya Keigo Higashino
sensei, yang bikin sesak tapi ngga sampai nangis sih :D Mungkin yang kemudian membuat
saya lebih penasaran adalah cover buku ini yang memajang gambar kamera. Apa hubungannya
ya cerita dalam novel dengan kamera? Eh iya, saya sempat ikut GA di blog teman,
tapi ngga menang. Untungnya sekarang berlangganan Scoop, aplikasi baca buku di
smartphone. Horeee…
Ladys Cantika yang semula tinggal bersamaayahnya di Seoul,
memilih pulang ke kampong halaman ayahnya di Bali. Tujuannya adalah untuk mendekatkan
dirinya dengan sang pacar tercinta, Esa. Ladys adalah seorang fotografer cukup beken
di Seoul karena ia bekerja sebagaifotografer majalah fashion dengan objek utama
fashion tentunya. Ia kembali ke Bali setelah 13 tahun meninggalkan kota cantik itu,
meninggalkan kesedihan yang pernah menimpaayahnya, yang hingga saat ia memutuskan
untuk pulang ke Bali masih kukuh untuk tidak lagimenginjakkan kakinya ke kota
yang menurutnyatak lagi indah itu. Sang ayah masih belum bisa melupakan rasa
sakit hatinya ditinggal sang istri yang berselingkuh.
Pramudias Putra, alias Dias, adalah salah satu kru dimana Ladys
bekerja di studio milik om-nya di Bali. Sebenarnya lebih tepatnya si Dias ini adalah
asisten fotografer bagian angkat-angkat. Meskipun lebih sering kebagian angkat-angkat,
ia memiliki dasar fotografi yang cukup mumpuni. Bersama dengan adiknya, Tyas,
Dias berusaha bertahan hidup, tanpa orangtua di samping mereka. Sang ayah,
setelah berselingkuh, dan kemudian ditinggalkan sang istri, memilih menjadi pemabuk
dan penjudi. Sang ibu yang kemudian menikah dengan orang lain, nyaris tak ada kabar
beritanya.
Ladys dan Dias bertemu. Ladys yang belumterbiasa dengan menyetir
di sebelah kanan, meminta Dias untuk mengantar jemputnya ke dan dari studio.
Suatu hari, mereka bertugas memotret pre-wedding di sebuah tempat yang indah. Di
tugas pertama mereka itu, percekcokan dimulai. Ladys yang semula menjadi fotografer
fashion merasa bahwa memotret pasangan yang tengah melakukan sesi foto
pre-wedding sama dengan memotret model fashion. Dias yang melihat ini langsung berkomentar
bahwa Ladys sama sekali tak tahu tentang teknik rule of thirds dalam fotografi.
“Kamu paham rule of thirds ngga?”
“Untuk dapat komposisi gambar yang bagus, POI itu harusnya di
posisikan di sepertiga bagian foto. Sedari tadi, mereka selalu kamu taruh di
tengah-tengah. Cukup seimbang memang, tapi gambar jadi tidak dinamis dan efek
dramatis yang ditawarkan ke mereka itu ngga kena.”
|
Gondok dengan ceramah dariasisten yang ngga jelas pengalamannya dalam fotografi, Ladys ngamuk. Hari itu diperparah dengan terbongkarnya perselingkuhan yang dilakukan Esa, pacarnya. Lengkap sudah hari buruk bagi Ladys di har pertamanya bekerja.
Tinggal sendiri di rumah yang member kenangan buruk bagi
sang ayah, pacar yang selingkuh, ditambah tanpa teman curhat, membuat Ladys berpikir
untuk pulang ke Seoul. Tapi ternyata ia bertahan. Ada hal lain yang masih membuatnya
tetap berada di Bali. Mama-nya. Tak peduli dengan apa yang pernah dirasakan ayahnya,
Ladys mencari keberadaan Mama-nya. Sementara Dias, semakin terpuruk dengan kondisi
ayahnya, ia memendam dendam pada ibunya, yang memilih pergi meninggalkan ia dan
adiknya. Sama-sama memendam rasa terhadap sosok yang melahirkan mereka, Ladys dan
Dias sedikit melupakan perseteruan mereka.
Apakah akhirnya mereka bertemu dengan ibu mereka? Untuk
novel Indonesia, saya yakin para pembaca sudah menduga akhir kisahnya. Sama
juga dengan saya.Putusnya Ladys, dan kemudian balik lagi ke Esa, juga Dias yang
diselingkuhi pacarnya, tapi sepertinya mereka ditakdirkan penulis untuk bersama.
Alih-alih mengatakan “Cinta itu memaafkan”,
saya kok lebih memilih kisah cinta mereka seperti orang yang ngga kenal peribahasa
“Keledai tak akan jatuh di lubang yang
sama.” Mwahahahaha… Sadis ya saya. Lha tapi gimana dong? Saya gemas dengan keputusan
bodoh mereka untuk kembali ke pacar masing-masing. Stupid doesn’t play bener
dah hahahaha…
Satu hal yang menarik untuk saya di novel ini tentu saja adalah
obrolan seputar teknik fotografi. Saya nyaris yakin jika si penulis juga
seorang fotografer karena deskripsi tentang teknik fotografi cukup lengkap. Meski
beberapa istilahnya sedikit familiar, tapi buat saya itu cukup sulit dilakukan.Tepatnya
sih, harus ada kemauan untuk mencoba teori ini dan itu.Saya yang juga suka memotret
asal saja, terlintas pengen belajar fotografi, tapi yah, otak saya kayaknya ngga
mampu untuk mengingat berapa mili lensa ini, berapa putaran yang saya butuhkan untuk
mendekatkan objek ini dan juga seberapa blur background yang saya butuhkan.
Beberapa istilah yang disebut di novel ini, si penulis menyediakancatatan kaki
hingga pembaca tak perlu googling untuk tahu apa yang tengah diobrolkanoleh Ladys
dan Dias. Ohya, saya juga suka dengan chemistry mereka berdua yang kadang canggung, tapi tiba-tiba bisa cair hanya dengan obrolan seputar
fotografi. Sweet.
Overall, sebagai pembaca awal dari karya penulis ini, saya menunggu
karyanya yang lain. Good luck. Dan, eh, apakah akhirnya saya menangis waktu
membaca novel ini, sama seperti teman saya yang lain? Saya malah bingung,
sebelah mana yang ditangisi? Hahaha…
Aku udah baca buku ini.
ReplyDeleteJadi tahu-tahu dikitlah tentang fotografi.
Aku suka tiap babnya hampir sebagian besar pakai istilah dunia fotografi.
Bahasanya ga berat jadi aku sih nikmatin banget hingga akhir. (:
've read it too, Kak! Aku nggak sampe nangis-nangis sih cuma agak keiris aja kalo pas mereka bahas orangtua, ya gimana sih di sisi lain mereka benci tapi orang tua juga nggak punya pilihan lagi. Tapi seneng sih, setelah bertahun-tahun gitu kan ya akhirnya pun semesta seperti mempertemukan Ladys dan Dias, kocak juga mereka dah berantem mulu :D
ReplyDelete