Entrok by Okky Madasari
Ebook Scoop 282 pages
Published by Gramedia Pustaka Utama
Rating: 3,5/5
I think I have an issue for Okky Madasari’s books…
Saya sudah membaca beberapa karyanya, seperti Maryam dan 86,
dan dari kedua buku itu saya mendapatkan rata-rata isu yang diangkat penulis
untk bahan tulisannya: kaum pinggiran atau minoritas yang tak mampu melakukan
apapun di tengah masyarakat mayoritas. Dan terlebih isu kental yang terjadi
rata-rata di tahun-tahun era Orde Baru.
Bukannya saya tidak menyukai isu semacam ini, hanya membaca
ini berasa mengingat luka lama yang ingin terkubur dalam-dalam. Saya pribadi
tidak mengalami tekanan jaman Orba, tapi tetap masa-masa kegelapan itu terasa
sangat menyakitkan ketika terbuka lagi, meski dalam bentuk fiksi (mungkinkah
fiksi berdasarkan kisah nyata?). Beberapa penulis lain juga sering kali menulis
era yang sama, tapi rasa yang saya dapatkan berbeda. Sebut saja Ayu Utami,
Ahmad Tohari, dan beberapa cerpen milik Puthut EA. Saya merasakan adanya dendam
teramat dalam dalam kisah-kisah yang ditulis penulis buku ini.
Sebelum membaca novel ini, saya menyempatkan sedikit
membaca-baca review di Goodreads, rata-rata mereka memberikan rating bagus
dengan memberi sedikit gambaran seputar perempuan-perempuan yang dikisahkan di
novel ini; Sumarni dan Rahayu. Saya pikir kisah mereka adalah kisah yang
berbeda yang sama-sama terinspirasi dari Entrok, alias bra, yang menjadi judul
novel ini. Ternyata saya salah. Entrok hanya muncul di kisah bagian Sumarni
saja. Selebihnya, isunya lebih kental mengarah pada agama atau kepercayaan dan
pemerintahan Orba.
Sumarni, lahir dan besar di jaman Orde Lama di masa-masa ia
dan ibunya ngenger di pasar Ngranget,
menjadi pengupas singkong dengan upah singkong. Teja, si kuli panggul mendapat
upah uang receh seusai nguli. Marni
yang sedang ngidam entrok alias bra, karena payudaranya yang mulai mringkili, memilih menjadi kuli panggul
dengan mendapat upah duit receh demi entrok. Dari obsesi memiliki entrok,
hingga kemudian Marni memulai bisnisnya; dagang sayur, dagang perlengkapan
rumah tangga hingga dagang duit alias memberi utangan pada warga pasar
Ngranget. Hidupnya stabil, ditambah dengan pernikahannya dengan Teja dan
memiliki anak, Rahayu.
Bahagia kah Marni? Seandainya ia hidup di jaman sesudah
reformasi, mungkin. Sayangnya, si penulis suka sekali mendramatisir kondisi
jaman Orba seperti kisah di novel 86.
Kekayaan Marni digerogoti oleh penguasa setempat; mulai dari
sumbangan partai, biaya keamanan, biaya sumpal mulut penggede setempat, dll. Jatuh
miskin kah ia? Oh, tidak. Marni tetap setegar batu, mengumpulkan receh demi
receh, hingga jaman menggantikan bank recehnya…
Rahayu, putri Marni, meski besar dengan ritual sajen ibunya
untuk Mbah Ibu Bapak Pertiwi (something like that, saya lupa :D), tidak setuju
dengan apa yang dilakukan ibunya. Guru agamanya di sekolah mengajarkan tentang
Tuhan, tentang ritual untuk Tuhan-nya, dan hal-hal yang dibenci Tuhan-nya. Rahayu
benci pada apa yang dilakukan ibunya. Dia sekolah di tempat yang jauh hingga ia
tak perlu melihat apa yang dilakukan ibunya, hingga ia mengenal komunitas
agama, menjadi istri kedua, menjadi pembela kaum miskin di tanah yang diklaim
milik negara, terpenjara dan …
Saya pikir, isu seputar pemerintahan Orba itu terlalu
didramatisir dengan Entrok sebagai judul novel ini. Saya menyukai bagian-bagian
dimana Sumarni menggaji para lelaki yang menjadi buruhnya, perempuan yang dulu
hanya dibayar singkong dan terpaksa nguli
demi sepasang entrok. Isu feminis sangat kental disini, masih lah berhubungan
cukp erat dengan entrok. Tapi ketika kisah beralih ke Rahayu, dengan komunitas
agamanya, para pemuka agama yang ia ikuti, yang saya dapatkan malah jijik. Peran
perempuan ketika beralih kepada Rahayu, justru berubah. Meski ia setegar
ibunya, tapi tetap saja ketegarannya berbeda. Kenapa hal semacam ini masuk ke
novel ini? Boleh lah dijadikan novel yang berbeda yang mungkin saya bakal
tertarik membacanya.
Terus terang, saya berharap ada sedikit kebahagiaan di akhir
kisah ibu dan anak ini. Sayangnya kisah berakhir di tahun 1994, ketika OrBa
belum terusir dari negeri ini. Meski sama-sama mengisahkan kebobrokan para
pejabat jaman si eyang-mantan-presiden, usai membaca Orang-Orang Proyek milik
Ahmad Tohari, ada sedikit kelegaan. Meski tidak demikian dengan Ronggeng Dukuh
Paruk. Tapi kebencian yang mendalam terhadap OrBa sangat terekam di novel ini. Itulah
kenapa saya memasukkan novel ini sebagai too
disturbing to finish. Saya nyaris ngga mampu menyelesaikannya. Pahit, tapi
ngga segitunya lah…
Waah saya padahal cukup penasaran pengen baca karya mbak Oky Madasari yang ini. Lagi hunting nyari buku ini nih
ReplyDeleteKayaknya akunya aja yang bermasalah dg isu2 dari novel2nya Okky deh. Sudah banyak di diskonan kok buku ini. Happy hunting :D
Delete