-->

(LPM) 25 Tahun Reformasi Quo Vadis Ayu Utami

 


Sebenarnya agak ngga yakin nulis laporan pandangan mata acara yang sudah lewat beberapa hari. Tepatnya acara ini diadakan hari Kamis, tanggal 11 Mei 2023, satu hari sebelum peringatan buku Saman diluncurkan. Novel Saman yang diluncurkan 12 Mei 1998 ini genap berusia 25 tahun dengan rekor cetak ulang sebanyak 37 kali (melebihi masa jabatan orde baru yang berjumlah 32—tahun, guyon si moderator hahahaha).

Venue

Acara ini bertempat di Taman Indonesia Kaya atau disingkat TIK, Semarang, yang dulu dikenal sebagai Taman KB. Acara dimulai sekitar pukul 19.15, molor sekitar 15 menit. Dibuka dengan meriah oleh moderator, Alif Iman yang bertanya siapa saja para pengunjung acara malam itu yang sudah membaca buku Saman. Beberapa tangan ngacung, lebih banyak yang tidak sih :D Dilanjutkan dengan menyebut beberapa judul novel Ayu Utami lainnya, seperti Larung, Bilangan Fu, Cerita Cinta Enrico, Lalita, Maya, Manjali dan Cakrabirawa. Dengan pede, saya dan kakak saya yang hadir malam itu, tangan mengacung tanpa henti. Waw, khatam ternyata kita ya wkwkwkwk...

Pembacaan nukilan Saman

Acara dibuka dengan pembacaan nukilan dari novel Saman oleh dua orang. Aditya dan satunya saya lupa namanya :D. Dua orang pembaca ini secara random membacakan naskah sesuai pilihan hati mereka yang menunjukkan betapa represifnya pemerintahan waktu itu. Keduanya sama-sama membaca tentang Wis alias Wisanggeni, yang nantinya mengubah namanya menjadi Saman, dan pertemuannya dengan gadis Upi. Saya ingat saya merasakan kepahitan yang amat sangat di bagian ini. Arogansi pemerintah dan kesombongan para pejabat daerah waktu itu sangat terasa.

Ketiga pembicara + moderator

Ayu Utami sedang bercerita tentang Saman

Setelah pembacaan nukilan Saman, acara inti dimulai dengan menghadirkan 3 narasumber, yaitu Ayu Utami (penulis Saman), Angelika Ryandari (dosen Sastra Inggris UNIKA), dan Christina M. Udiani (editor Penerbit KPG). Ketiganya akan bercerita panjang lebar mengenai novel Saman.

Christina dari KPG menceritakan proses penerbitan Saman di tahun 1998. Waktu itu, novel ini baru saja dinobatkan sebagai pemenang Dewan Kesenian Jakarta tahun 1998. Melihat kompleksnya isu yang disampaikan oleh novel ini, si editor mengakui menyukai isu di dalamnya. Karena itu, Saman terbit. Sementara Angelika, dosen sastra Inggris ini mengakui bahwa pada awalnya dia agak merasa segan membaca novel Indonesia. Tapi opininya berubah drastis begitu membaca novel yang mengambil sudut pandang kompleks ini. (Sebenarnya ini juga yang membuat saya kagum dengan penulis karena dari masing-masing sudut pandang, gaya bahasa yang digunakan sangat sangat berbeda satu sama lain). Istilah sastra wangi untuk novel ini, menurutnya ngga wangi-wanginya hahaha... Google sendiri apa itu sastra wangi :p

Dan tibalah saatnya Ayu Utami, si penulis bercerita. Sebelumnya ada 3 pertanyaan yang sudah diajukan sebelum acara dimulai. 3 pertanyaan itu antara lain bagaimana Ayu Utami bisa menemukan nama-nama unik sebagai tokoh-tokoh di novel-novelnya, seperti Saman, Parang Jati, dll. Ayu mengaku bahwa nama-nama itu muncul sebagian dari alam bawah sadar (perenungan) dan juga dari lingkungannya. Misalnya saja nama Parang Jati. Bagaimana ia memberi nama seorang pendaki gunung dengan kesan kuat seperti Parang Jati. Ternyata waktu Ayu sedang menulis Bilangan Fu, ia sedang melakukan pendakian di Gunung Parang. Pemandangan indah gunung di pagi hari ditambah dengan pohon-pohon jati yang rimbun. Jadilah Parang Jati. Saman? Hmmm... Katanya tokoh kiri itu biasanya memiliki nama dengan dua suku kata, seperti Muso, Misbach, Lenin, dll. Maka nama Wis alias Wisanggeni berubah menjadi Saman. Oh,begitu :D

Acara tanya jawab masih terus berlangsung hingga kemudian ada satu pertanyaan dari Angelika tentang pandangan anak-anak muda jaman sekarang tentang novel-novel Ayu Utami, apakah masih relevan di jaman sekarang? Seorang mahasiswi menjawab, menurutnya, novel Bilangan Fu masih sangat relevan dengan keadaan sekarang. Well, ternyata meski sudah 25 tahun reformasi, Indonesia belum banyak berubah.

Ada beberapa kalimat hampir penutup yang saya masih ingat dari Ayu Utami, yaitu perjuangan para mahasiswa di tahun 1998 adalah membebaskan pers yang waktu itu sangat ditekan oleh pemerintah Orde Baru. Bandel sedikit, bredel. Setelah reformasi berlangsung, pers sekarang begitu amat bebas. Namun banyak diantara kita yang bebas justru memilih berita yang sesuai dengan kepercayaan norma dan agamanya sendiri. Apakah ini kemajuan atau kemunduran, silakan dijawab sendiri.

Acara ditutup dengan foto bersama dan tanda tangan buku-buku Ayu Utami. Aaaahhh...akhirnya saya punya satu buku koleksi yang sudah lumayan bapuk dengan tanda tangan di tahun 2023 ini. Alhamdulillah.


Syukaaaa sekali ada ttd dari mbak Ayu 


0 Response to "(LPM) 25 Tahun Reformasi Quo Vadis Ayu Utami"

Post a Comment

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel