Laut Bercerita by Leila S. Chudori
380 pages Ebook Gramedia Digital
Published 23 Oktober 2017
Rating: 4,5/5
Belum pernah saya membaca novel hingga bagian persembahan terima kasih karena saya ingin tahu, dari mana saja sumber cerita ini berasal. Mungkin sebagian diri saya penasaran apakah saya mengenal sosok mereka sekarang, 25 tahun setelah reformasi berlangsung. Mungkin karena saya yang memang kurang membaca, nama-nama yang tercantum, ternyata saya merasa asing. Hmmm… ya sudahlah.
Membaca Laut Bercerita di bulan Mei ini memang tepat karena puncak segala tragedi sebelum reformasi, terjadi di bulan Mei. Presiden Soeharto lengser tanggal 21 Mei 1998 setelah sebelumnya terjadi banyak peristiwa dari demonstrasi mahasiswa baik secara terbuka atau melalui media cetak atau selebaran. Tak sedikit mahasiswa yang hilang, diculik dan dikembalikan atau tak pernah kembali.
Novel ini merekam semua kejadian itu dimulai tahun 1991, 1993 hingga 1998. Kisah diceritakan secara maju mundur oleh Biru Laut, tokoh utama disini. Laut yang sejak anak-anak sudah mencintai buku-buku, tumbuh besar mencintai kata-kata dan buku serta ide-ide yang tertuang dalam buku-buku yang ia baca. Tak heran ketika gejolak protes terhadap pemerintah yang dirasa semakin represif, Laut tak segan untuk bergabung. Meski harus bersembunyi dari orangtuanya dan adiknya, semangat Laut untuk berjuang membantu kalangan yang tertindas tak pernah padam.
Pemerintah yang mulai mencium gerakan bawah tanah ini mulai melakukan pergerakan pencegahan untuk tetap mempertahankan kekuasaan yang sudah berlangsung lebih dari 3 dekade. Satu persatu Laut dan kawan-kawannya mulai diendus keberadaannya, diintimidasi, dan berakhir diculik dan disiksa.
Kebetulan tahun 1998 itu saya sudah cukup dewasa untuk memahami apa yang terjadi pada waktu itu. Sebuah partai politik yang menginginkan kemenangan terus menerus dengan cara menekan partai oposisi. Ayah saya almarhum sebelumnya bekerja di sebuah perbankan milik pemerintah yang setiap menjelang pemilu selalu dicekoki untuk memilih partai tertentu. Tapi ayah saya dengan berani memilih partai lain karena berkeyakinan bahwa prinsip Pemilu (LUBER—Langsung, Umum, Bebas, dan Rahasia) akan melindungi dirinya. Jika dibandingkan sekarang, sesuatu yang rahasia waktu itu menjadi sangat mencolok dengan media sosial yang begitu bebas saat ini. Kita secara langsung tahu pilihan si A dengan melihat dukungannya terhadap satu partai atau calon presiden. Bandingkan dengan 25 tahun lalu. Saya tak bisa membayangkan jika Laut dan teman-temannya masih hidup hingga sekarang, apa yang akan mereka katakan? Apa reaksi mereka akan kebebasan pers yang mereka perjuangkan dulu?
Tahun 1998 adalah tahun segalanya tak menentu, bahkan sebelumnya, ketika dollar semakin tinggi nilainya, hingga rupiah seakan tak ada artinya, banyak segala usaha yang gulung tikar. Banyak teman-teman saya yang tadinya memiliki pekerjaan tetap dengan penghasilan lumayan, mulai dirumahkan. Sebaliknya, saya cukup beruntung karena di tahun itu saya diterima bekerja menjadi guru sebuah instansi swasta yang memiliki franchise di banyak kota. Tapi tetap tak bisa dipungkiri adanya pukulan berat ketika harga-harga menjadi melambung tinggi. Meski mendapat pekerjaan baru, tetap saja adaptasi dengan harga-harga di pasaran pada waktu cukup membuat shocked.
Perjuangan Laut dan kawan-kawan tidak hanya melawan pemerintah yang represif tapi juga melakukan pendampingan terhadap mereka yang mendapat perlakuan tak adil. Tragedi di Blangguan menjadi awal Laut melihat seperti apa mereka jika meneruskan perjuangan mereka. Tapi segala siksaan yang mereka alami sama sekali tak membuat mereka gentar. Ketika saya menghadiri bincang-bincang bersama Ayu Utami tempo hari, saya baru tahu jika gerakan bawah tanah ini sudah ada bahkan 15 tahun atau bahkan lebih sebelum akhirnya pecah di tahun 1998 itu. Saya hanya berharap, mereka yang ikut berjuang waktu itu ikut menikmati saat-saat sekarang.
Novel ini tidak hanya berkisah tentang perjuangan para aktivis menggulingkan represi selama puluhan tahun, tapi juga tentang kehilangan. Para keluarga yang kehilangan anggota keluarganya, orangtua yang kehilangan sang anak, sang kekasih yang kehilangan kekasihnya, tapi di saat yang sama juga bercerita tentang kehangatan keluarga dengan obrolan seputar resep masakan, buku-buku dan lagu-lagu perjuangan klasik. Biru Laut adalah satu diantara banyak aktivis yang hilang pada tragedi 98. Keluarga yang menanti di rumah tanpa kepastian terjebak pada kenyataan pahit atau penyangkalan yang terasa hangat dan penuh cinta. (Di bagian ini baru runtuh airmataku )
Ketika sudut pencerita berpindah ke Asmara, adik satu-satunya Laut, saya masih dihinggapi rasa ingin tahu (juga separo penyangkalan) bahwa Asmara bakal bertemu dengan sang kakak, dalam bentuk apapun; tulang, secarik kain bajunya, sepatu, atau apa saja yang menunjukkan Laut pernah berada disana. Tapi kenyataan memang sepahit itu.
Buku ini wira wiri di time line goodreads saya ketika baru saja terbit beberapa tahun lalu, dan baru sekarang saya berani membacanya. Pengalaman membaca Saman karya Ayu Utami (baca Laporan Pandangan Mata 25 Tahun Reformasi), dan beberapa buku tentang holocaust membuat saya sedikit teguh dengan adegan-adegan brutal nyaris tidak berperikemanusiaan. Tapi membaca bagian kehilangan itu, rontok hati saya. Selama ini cukup jarang saya membaca dari sudut pandang dari mereka yang putus asa dengan ketidakpastian karena kehilangan seseorang yang begitu penting dalam hidupnya.
Abis ini saya kudu menghibur diri dengan bacaan ringan nan lucu buat obat dari rasa patah hati yang amat sangat ini.
0 Response to "Laut Bercerita by Leila S. Chudori"
Post a Comment