#8 Ronggeng Dukuh Paruk by Ahmad Tohari
Published January 2003 by Gramedia Pustaka Utama
Pertama diterbitkan tahun 1982
Rating 4/5
Kenapa, Rasus? Kenapa kau datang di saat....
Dari diskusi di WA bajaj, terutama
mereka yang sudah membaca sekaligus menonton filmnya, mengatakan bahwa
endingnya menyebalkan dan tokoh2 di dalamnya, meski cukup kuat, kurang mendapat
simpati. Eh, yang terakhir itu pendapat saya pribadi ya hehehe... Saya sebal
dengan kemiskinan Dukuh Paruk sekaligus kebodohannya. Tapi apa yang terjadi di
sekitar tahun 64, itu adalah suatu hal yang mungkin terjadi. Saya jadi benci
sendiri, mengapa itu pernah melanda negara saya tercinta.
Di buku pertama, Ronggeng Dukuh
Paruk, dikisahkan lahirnya seorang ronggeng setelah sekian lama dukuh cukup
terpencil ini berlalu tanpa ronggeng dan bunyi bunyian calung. Srinthil, gadis
belia usia 11 tahun, ditahbiskan sebagai ronggeng oleh kamitua dukuh Paruk yang
sekaligus adalah kakeknya. Rasus, lebih tua 3-4 tahun dari Srinthil, telah
merasa seluruh jiwa raganya untuk dukuh tempat kelahirannya sekaligus untuk
Srinthil. Sayang, sejarah berkata lain.
Di buku ke dua, Lintang Kemukus
Dini Hari, Srinthil telah menikmati kejayaannya sebagai ronggeng. Ketenaran,
kekayaan, semua telah ia miliki di usia 18 tahun. Kecuali Rasus. Cinta Rasus
memang untuk Srinthil, tapi ronggeng tak bisa melabuhkan hatinya ke satu orang.
Dukuh Paruk bakal kehilangan pamor, dan tentu saja, maskot cabulnya.
Perjalanan karir Srinthil harus
bersinggungan dengan kondisi politik yang memanas di tahun 65. Penampilannya
diboncengi kepentingan partai, seruan seruan menggelegar, membakar masyarakat
dukuh Paruk. Keluarga Srinthil yang bodoh tak mengerti apa yang tengah terjadi,
hingga kejayaan Srinthil berubah drastis menjadi kenistaan.
" Ronggeng adalah keperempuanan yang menari, menyanyi,
serta kerelaan melayani kelelakian. Dia pastilah bersifat mandiri dan mendasar.
Tetapi selama mengikuti Bakar, untuk apa dan siapa dia meronggeng sungguh
menjadi pertanyaan yang sulit dijawabnya ".
Buku ketiga, Jentera Bianglala,
menggambarkan kondisi Srinthil yang ketakutan setelah dua tahun menghilang. Tak
ada kisah yang keluar dari mulutnya, tapi sikapnya terhadap laki laki berubah.
Tak ada tamu yang ia layani. Dukuh Paruk kehilangan ronggengnya sekaligus bunyi
calung, serta kepercayaan diri. Tanah Dukuh Paruk rata tanah, hanya tersisa
puing dan gubuk gubuk beratap ilalang.
Setelah kehancuran yang memilukan,
dukuh Paruk kembali berbenah dengan munculnya orang orang proyek dari Jakarta.
Srinthil juga kembali berbenah. Menata hatinya terhadap Rasus dan pria tua,
orang proyek yang memberinya perhatian tulus yang ia dambakan...
Ini adalah pengalaman membaca RDP
yang kedua dari saya. Yang pertama, entah berapa tahun lalu. Banyak hal yang
terlupa, tetapi satu hal yang saya ingat, saya sering sekali skip di bagian2
Ahmad Tohari dengan amat puitisnya menggambarkan alam sekitar. Seperti nonton film,
ketika suatu adegan terjadi disini, disana, alam tengah mengalami adegan yang
berbeda. Untuk film, saya yakin ini akan tetap menarik untuk diperhatikan,
meski sekilas. Tetapi untuk buku, dengan penggambaran alam yang sangat panjang
dan tersebar di sepanjang novel, dan tak ada kaitan khusus dengan cerita utama,
saya lebih memilih skip. Penggambaran seorang Srinthil yang ronggeng,
mengingatkan saya akan Andrea Hirata yang menggambarkan seorang A Ling memenuhi
berlembar lembar novel. Disini, si penulis tidak hanya menggambarkan kecantikan
Srinthil, tapi bagaimana ia berjalan, ber-pacak gulu, yang juga terrrrsebar di
sepanjang novel. Iya iya, Srinthil itu begini begitu, keluh saya selama
membaca.
Beberapa keterangan waktu juga
saya temukan sedikit janggal. Srinthil yang secara tidak resmi mengadopsi anak
Tampi, Goder, ketika ia kembali dari tahanan, telah berusia 4 tahun. Ia sempat
tak mengenali Srinthil. Beberapa tahun kemudian (?), setelah Rasus kembali dari
bertugas dari Kalimantan, dan kembali menengok tanah airnya, Dukuh Paruk, Goder
kembali digambarkan berusia 4 tahun. Nah, apakah Rasus pergi hanya dalam
hitungan bulan? Selain itu, saya sedikit tergelitik dengan kata 'membopong'.
Setahu saya, membopong berarti semacam menggendong. Suatu ketika, Nyai Sakarya
yang sudah berusia 70 tahun, karena sesuatu harus menjauhkan Srinthil dari
Goder, hingga kemudian ia membopongnya. Duh, usia 70 tahun membopong bocah usia
4 tahun? Saya aja sering gempor menggendong/ membopong ponakan saya yang baru
akan 3 tahun dengan bobot 11-12 kilo. Well, barangkali Nyai Sakarya masih
sangat kuat dan kenceng ya hahaha...
Tokoh2 di dalam novel ini
sebenarnya tidak terlalu banyak. Hanya saya tak bisa menemukan sosok yang saya
favoritkan. Tokoh yang saya benci malah saya punya, Nyai Kertajaya. Instingnya
sebagai mucikari sering kali membuat saya gondok setengah mati. Mungkin saya
setuju dengan Chei, Nyai Sakarya adalah sosok yang paling mungkin saya sukai.
Ia hadir semenjak Srinthil ditinggal mati orangtuanya, hadir ketika ia menjadi ronggeng,
dan memahami kegalauan hatinya terhadap Rasus hingga titik nadir kehidupan
Srinthil sebagai ronggeng.
Posting ini saya sertakan dalam Posting bareng BBI bulan February dengan tema Historical Fiction Indonesia
Berikut adalah trailer film Ronggeng Dukuh Paruk dengan judul Sang Penari yang dirilis tahun 2011, dibintangi oleh Prisia Nasution dan Oka Antara. For your information, ini adalah kali kedua novel ini di filmkan. Yang pertama dibintangi oleh Ray Sahetapy dan Enny Beatrice 1983 dengan judul Darah dan Mahkota Ronggeng
Ih iya, Kak Lila, aku juga terkadang skip pas dijelasin soal pemandangan. Indah sih penjelasannya, cuma terkadang terlalu panjang *sungkem sama bapak penulis
ReplyDeleteDan yap, aku juga benciii banget sama Nyai Kertajaya >,<