#16 Garis Batas by Agustinus Wibowo
Paperback 510 halaman
Published by Gramedia Pustaka Utama
Juni 2011
Rating 5/5
Apa kabar negeri Tajikistan di
seberang sungai? Tampak indah menjanjikan kebahagiaan dibandingkan negeri
berselimut selimut debu, Afganistan.
Setelah lebih dari satu tahun,
akhirnya saya melanjutkan kisah perjalanan Agustinus Wibowo ke tanah seberang
sungai yang telah membuat penasaran di bab bab terakhir Selimut Debu. Sama
halnya dengan si penulis, saya pun mengharapkan keindahan seperti yang terlihat
dari seberang sungai, Amu Darya yang hanya beberapa meter saja lebarnya tapi
membatasi dua negara dengan kondisi bagai bumi dan langit.
Tajikistan, negara pertama yang
dijelajahi seusai terseok-seok keledai keras kepala di Afganistan. Mobil-mobil
meluncur di jalan mulus, gadis -gadis berpakaian modern, pendidikan terbuka
bagi siapa saja, dan berbagai kemudahan lainnya dibandingkan negara selimut
debu. Untuk ini, warga Tajik patut berterimakasihpada Soviet Tapi apakah
keindahan itu nyata adanya? Dibandingkan negara stan stan lainnya, Tajikistan
adalah negara termiskin dengan pendapatan penduduk rata2 20 dolar, dengan
tunjangan pensiun hanya 5 dolar. Harga bensin jauh melampaui kemampuan daya
beli. Alhasil, mobil teronggok tanpa bensin, segala sesuatu mulus dengan
hadirnya somoni, uang dan uang. Sogokan dimana mana, korupsi merajalela, tak peduli siapa, dimana
dan kapan saja, termasuk di bulan suci Ramadhan. Astagfirullah... Ironis
memang, dengan mayoritas penduduk beragama Islam, bulan Ramadhan tak ubahnya
bulan bulan biasa, warung-warung tetap buka, vodka tetap ditenggak ckckck...
Sungai Amu Darya (sumber)
Negara stan kedua adalah Kirgiztan.
Apakah ada beda diantara keduanya? Mereka sama sama negara yang lahir dari
perut Soviet dan hanya bergaris batas sejauh kira kira 20 kilometer saja.
Disini berdiri negara berbeda dengan kesamaan mencolok, polisi yang doyan
sogokan dan korupsi. Ini adalah negara yang ingin benar benar melepaskan diri
dari kungkungan nostalgia zaman komunis, mereka menggusur bahasa Rusia,
mengganti nama kota dan jalan yang berbau Soviet dan patung patung dirobohkan
(hal. 142).
Kesibukan di kota Osh, Kirgiztan. Ada roti nan segedhe tampah :D (sumber)
Osh, sebuah kota tua di sebelah
selatan Kirgiztan, selama ini ber make up ala Rusia, gedung gedung modern, dan
mobil lalu lalang mengubur kenyataan bahwa kota ini pernah mengalami kejayaan
di masa lalu. Usianya yang mencapai 3000 tahun, sudah pasti menyimpan masa lalu
yang luar biasa. Sayang, identitas yang terlihat saat ini adalah wajah Rusia
yang ingin disingkirkan, tapi belum juga terlihat jati diri Kirgiztan yang
sesungguhnya. Bahasa nasional, sejatinya adalah kebanggaan suatu bangsa,
menjadi hal yang ironis di negeri Kirgiz. Rusia terlalu mengakar hingga tak ada
ruang untuk bahasa ibu. Bahasa negeri komunis melebur di setiap aspek kehidupan
hingga ke hurufnya.
Bagi negeri-negeri, bahasa
nasional adalah perjuangan besar untuk mempertahankan eksistensi dan jati diri.
Sementara di belahan lain Asia, pemimpin dan rakyatnya malah bangga bisa
menyelipkan kata dan kalimat bahasa
asing, sebagai lambang kecerdasan dan kemajuan berpikir, tertimbun oleh
kekaguman dan pemujaan terhadap kemajuan peradaban asing--secuil superioritas
dari sindrom inferioritas bangsa terjajah (hal. 179)
Familier dengan negeri Asia tersebut?
#uhuk.....
Stan ketiga adalah Kazakhstan. Negeri
yang hanya berbatas setengah jam dari negeri miskin Kirgiztan ini mempunyai
kehidupan yang sangat kontras. Negeri terluas dibandingkan 4 negara stan
lainnya ini menjanjikan sesuatu yang berbeda. Sepi, itu yang ditangkap pertama
kali oleh Agustinus, si penulis. Mahal, adalah kesan kedua ketika ia menikmati
makan ala kadar dan hotel tengik. Meski kaya raya oleh hasil buminya, Kazakhtan
bukan negeri impian yang ideal bagi penduduknya. Sulitnya pekerjaan dan harga
harga yang tak terjangkau menjadi keluh kesah penduduknya. Kekayaan hasil bumi
menciptakan dua golongan mencolok di negeri ini, kaum pendatang - eksekutif
mancanegara bergelimang kekayaan, dan penduduk setempat yang miskin. Kejahatan
merajalela tanpa ampun.
Astana ibukota Kazakhstan. Modern bin mahaalll
Negeri kaya ini memang menjadi magnet
bagi para pendatang yang dulunya sengaja didatangkan oleh pemerintah Rusia:
Korea, Ukraina, Jerman, Turki, Uzbek hingga penduduk Rusia sendiri. Jadilah
Kazakhtan negara berkumpulnya berbagai macam ras internasional. Anehnya, di
negeri penuh dengan berbagai macam ras ini, tetap saja bisa ditemukan olok olok
rasial yang menyakitkan. Saya pikir, para pendatang itu akan maklum dengan
kondisi masing-masing. Sayangnya, rasis ini memang dimulai oleh si mantan
negara adikuasa itu sendiri. Di mata
orang Rusia, negara- negara dari Asia Tengah adalah negara terbelakang. Orang
Muslim di kawasan ini disebut chernokozhie
setara dengan negro. Kulit membungkus manusia. Warnanya adalah garis batas,
identitas, label, penentu takdir.
Selamat datang di negara stan
keempat, Uzbekistan, sebuah negara yang terkenal dengan gadis gadisnya yang
molek, yang beberapa diantaranya disunting orang orang Indonesia. Negara yang
terkenal elok paras penduduknya ini tidak sebanding dengan paras ekonomi di
negara ini. Setelah miskin di Kazakhtan, si penulis tiba tiba menjadi kaya
hanya dengan memiliki satu tenge! Mata uang Uzbek terbanting. Untuk membeli
tiket pesawat saja dibutuhkan berkantung kantong plastik uang Sum, karena
pecahan terbesar mata uang ini tidak mencapai. US$1!
Gadis2 cantik Uzbekistan
Uzbekistan juga terkenal sebagai
negara pecahan Soviet yang paling anti Rusia. Kebencian begitu mendalam hingga
semua patung tokoh komunis dihancurkan, nama pahlawan Rusia digusur dari papan
jalan digantikan nama pahlawan Uzbek, bahasa Rusia digantikan bahasa Uzbek.
Saking bencinya, hingga orang keturunan Rusia adalah warga kelas dua disini.
Jika di Kazakhtan, keturunan Rusia masih bisa sombong dengan guyon rasialnya,
disini, warga Rusia terseok-seok. Bule kecil bermata biru bening menjadi
pengemis, mengais sampah orang Uzbek. (Di negara kita pasti sudah jadi pemain
sinetron wkwkwk).
Nah, akhirnya, selamat datang di
negeri Utopistan alias Turkmenistan, negeri ajaib dengan pemimpin narsis tiada
kepalang. Jika si penulis mengatakan Uzbekistan adalah negara tidak normal,
saya kurang setuju. Saya lebih setuju jika negara Turkmenistan ini yang disebut
negara abnormal. Selama membaca, saya dihantui negara utopia nan dystopia macam
Panem atau negara dimana wajah cantik tampan bisa didapatkan setelah usia 17
tahun, negeri rekaan Scott Westerfeld (Uglies series). Negeri ini menawarkan
kemudahan, kemewahan, semua barang hingga jasa super murah, keteraturan yang
absolut, kebebasan yang kontrolnya centralized dari pemimpin nan agung,
Turkmenbashi. Pemimpin ini kemunculannya bisa dimana mana dalam bentuk patung
emas, poster hingga kamar hotel bintang lima!! Omongannya adalah ayat ayat yang
harus dipatuhi yang tercantum dalam kitab Ruhnama. Segala persoalan dunia,
termaktub dalam kitab suci ini. Luar biasa bukan? Lebih hebat lagi, pemimpin
narsis ini ingin namanya, nama keluarganya menjadi suatu yang melebur dalam
masyarakatnya, maka digantilah nama nama bulan, nama hari dengan nama nama
keluarganya.
Foto2 diambil dari wikipedia (masya Allah, narsisnyaaa)
Mayoritas penduduk disini beragama
Islam, jadi bagaimana kedudukan kitab sucinya dibandingkan Ruhnama? Di pintu
masuk masjid Turkmenbashi, tertulis besar besar semboyan suci, "Ruhnama
kitab yang suci, Quran kitabnya Allah". Ckckck... Belum berhenti disitu
saja, pemimpin yang menjanjikan Abad Emas untuk rakyatnya ini bahkan telah 'meminta'
Allah untuk memasukkan mereka yang telah membaca Ruhnama tiga kali untuk masuk
surga. #gubraaakkk....
Perjalanan Agustinus ke Turkmenistan
ini mengakhiri tur negara negara stan dengan kesan campur aduk. Selama proses
membaca, saya dilanda berbagai macam perasaan, mulai dari sedikit bosan dengan
paparan sejarah ini itu di awal buku, terperangah dan sedih dengan daerah yang
tadinya saya harapkan menjadi oase yang sejuk setelah lepas dari Selimut debu,
terharu hingga meneteskan air mata, dada sesak dengan kilas balik tragedi
rasial yang melanda negeri kita tercinta dan dialami secara pribadi oleh
penulis, tertawa geli terus terusan mendapati upacara sakral pernikahan yang
diulang hanya karena tamu asing kehormatan datang telat, terharu tiada tara dengan
adanya gelaran tarian daerah Nusantara di satu sudut Uzbekistan, hingga ngeri
tak terperi dengan kontrol absolut dari sebuah negara yang menjanjikan Abad
Emas. Ketika saya menutup buku ini, rasanya saya kehilangan hari hari penuh
petualangan dari penulis.
Dalam buku ini, penulis berkali kali
menuliskan atau menanyakan, apakah fungsi Garis Batas itu? Garis Batas kadang
berupa Kartu pengenal, dokumen dokumen yang menyatakan identitas individu, atau
berupa nasionalisme yang sekali saja tersinggung, perang atau bakar bendera
akan segera berlangsung. Garis batas di negara negara stan, mempunyai benang
merah yang sama, bekas Soviet yang menjadi negara merdeka setelah keruntuhan
Soviet. Di dalam negara tersebut, terdapat etnis yang sama, bahasa yang hampir sama,
budaya yang mirip tapi masing masing individu mempunyai keterikatan emosional
yang berbeda. Perbedaan suku dan imam, menjadikan garis batas itu semakin
mencolok, semakin gampang tersulut menjadi pertikaian. Garis batas hadir dengan
segala kekuatannya, memilah, mengubur hingga menenggelamkan suatu negara dari
dunia luar.
Agustinus Wibowo, sang penulis buku
ini hadir dengan habis-habisan di buku ini. Jika dulu saya kepincut dibuku
pertamanya, Selimut Debu, yang ini membuat saya terkesima lalu jatuh cinta
dengan gaya penulisannya. Kata-katanya seolah menyihir saya untuk benar-benar
melihat negara negara yang ia kunjungi. Saya memahami emosinya di waktu kecil
ketika ia mulai diuji rasa nasionalismenya. Saya paham ketika ia bersorak untuk
tanah kelahiran orangtuanya alih-alih negara yang ia tinggali. Deskripsinya
tentang garis batas terkadang memberi kesan menyesali adanya sekat-sekat
diantara umat manusia, tapi tak kuasa menolak adanya garis itu. Langit luas
tanpa batas, tanpa konflik, terkesan kurang menarik untuk dijelajahi. Impian
John Lennon tentang "and the world will live as one" jadi mengerikan
macam negeri Turkmenistan, satu pemimpin, satu suara untuknya. Ah, mungkin saya
saja yang kurang utopis, tapi tetap saja negara negara itu jadi kurang menarik
tanpa konfliknya. Hidup kita juga bakal kurang menarik jika garis batas itu
menghablur jadi satu.
Map negara negara Asia Tengah
Posting bareng ini saya sertakan di event Posbar BBI tema Traveling
keren banget yaaa...aku blm pernah baca buku2 gus weng nih... kayaknya mending baca dr selimut debu aja ya?
ReplyDelete