Awan awan di Atas Kepala Kita by Miranda Malonka
Ebook Gramedia Digital 398 pages
Published September 28, 2022
Rating: 3,5/5
Saya tidak berharap membaca novel Young Adult ini begitu berat. Isu suicide dan mental health begitu kental di sepanjang buku dan juga rangkaian kalimat filosofis yang tak terkunyah oleh otak teplon saya. Fiuh...
Benjamin Iskandar atau Ben memutuskan mengakhiri hidupnya di usia 19 tahun. Lokasi bunuh dirinya sudah ditentukan dan dia yakin tidak ada orang yang akan merasa kehilangan jika ia lenyap dari dunia ini. Sayang, rencana itu gagal total dengan munculnya Karina Kharitonova alias Kay yang tiba-tiba muncul dan menggagalkan rencana bunuh dirinya.
Kay muncul di saat yang tepat untuk menyelamatkan hidup Ben, sekaligus menyelamatkan mental Ben yang selama ini dihantui nihilistik. Personality Kay yang ceria, positif dan ekspresif sangat bertolak belakang dengan Ben yang cenderung pesimis.
Setelah perkenalan mereka berdua, lambat laun membawa pengaruh positif pada Ben. Pengaruh ini tidak hanya dibawa oleh Kay, tapi juga Kian, rekan musisi sekaligus sahabat Kay di Double Kay. Namun badai yang menerpa Ben sekaligus memunculkan gumpalan awan di kepalanya ternyata menular pada Kay.
Di luar penampilannya yang ceria, Kay juga menyimpan hantu-hantu masa lalu dan masa kini yang terus menghantuinya. Kehilangan sesuatu yang sangat berharga membuat Kay semakin limbung.
Novel ini diawali dengan isu suicide yang sangat kental dan pikiran-pikiran negatif Ben pada kehidupan. Kemudian mulailah dengan hantu- hantu mimpi dan juga juga gumpalan-gumpalan awan yang memenuhi kepala Ben dan Kay. Dan dipertengahan, isu domestic violence muncul dengan sosok Nat, pacar Kay yang kasar dan posesif.
Untunglah, karakter-karakter disini diselamatkan oleh Kian dan Tante Katya. Dua orang ini yang menjadi pusat kewarasan diantara karakter yang tidak waras lainnya. Usaha-usaha penyelamatan harus dilakukan secara benar, dan tentu saja penyelesaian hukum yang adil.
Selama memhaca, saya rasanya seperti dicekoki dengan kalimat filosofis. Maklum saja, Kian kuliah di Fakultas Psikologi dan adiknya yang mengunyah buku-buku filsafat super tebal. Buat saya yang merasa hidup saya begini begini saja, hanya lempeng saja tapi cukup menikmati, membaca kutipan kalimat tersebut rasanya seperti menonton film asing tanpa teks. Hanya menikmati gambar-gambar yang berganti, sesekali memahami apa yang dikatakan para pemainnya, sesekali hanya lewat begitu saja. Tapi jangan salah, saya tetap menikmati dinamika novel ini dengan para karakternya.
Ada satu kutipan yang sangat relevan dari dulu hingga kini:
Ya, banyak orang yang ngga punya tujuan jelas dalam hidup, makanya memproduksi keturunan jadi pilihan legacy yang paling praktis. Gampang. Keturunan tinggal dijadikan anak panah untuk mewujudkan impian mereka sendiri. (halaman 199)
Berat ya... Padahal tadi malam sudah mau memisahkan novel ini buat dibaca bulan ini, tapi kayaknya perlu dipikir ulang. Soalnya bulan ini pengen baca bacaan yang ringan-ringan saja.
ReplyDeleteTema mental begini harusnya relate sih, tapi kalau sampai ke percobaan bunuh diri, kayaknya dalam pisan ketidakberesan mentalnya.
Hapudin:
ReplyDeleteKayaknya yang sering kena mental health cenderung bunuh diri tuh kayaknya horang horang kayah, kayak di cerita di novel ini. Meski yah, kecenderungan bunuh diri emang ngga cuma yang dari kalangan 'the have' saja.
Dibaca pas kondisi mental si pembaca stabil aja ya...