-->

Megamendung Kembar by Retni S.B



 Baca di Ipusnas 364 pages

Published Juli 11, 2016 by Gramedia Pustaka Utama 

Rating 3,5/ 5

Ini adalah buku yang pertama saya baca dari penulis Retni SB. Sebelumnya saya mengenalnya sebagai penulis Istanbul, novel series kota-kota selain Melbourne-nya Winna Efendi. Saya sempat mengunduhnya di Ipusnas, tapi rasanya kok kurang klik. Hmmm... Karena waktu itu yang lewat di beranda saya di Threads adalah Megamendung Kembar ini, maka tujuan utama saya ya membaca buku ini. Karena antrian buku ini lumayan, maka, yah, begitu lah :D

Novel ini terdiri dari 3 bab. 

Bab pertama menceritakan tentang kehidupan Awie di Jakarta yang mulai panas karena deadline yang menumpuk dan isu yang kurang enak. Maka ia memutuskan untuk 'melarikan diri' dari ibukota ke Cirebon, kampung halaman orangtuanya. Selain karena kangen dengan Embah-nya yang sudah sepuh, Awie juga ingin sekedar menghirup udara segar.

Embah tinggal di Kalitengah, sebelahan dengan kampung Trusmi, kampung yang populer dengan batiknya. Embah yang tinggal sendiri setelah ditinggal para anak dan cucunya merantau, hanya ditemani pembantu, Mbak Tum. Kepulangan Awie tentu saja disambut baik oleh Embah.

Hubungan Embah dengan batik, menurut Awie seperti memiliki ikatan magis yang tak bisa ia terjemahkan dengan kata-kata. Ketika ia masih kecil, Awie sering melihat Embah yang berlinang airmata ketika sedang membatik. Ada memori apakah hingga membuat Embah begitu emosional dengan kain mori, malam, dan canting? Rahasia ini sangat membuat Awie penasaran. Ia harus tahu sebelum Embah 'pergi'.

Bab dua menceritakan masa lalu Sinur, buruh pabrik batik yang sangat mahir membuat batik motif megamendung. Kemahiran Sinur ini mendapat perhatian khusus dari Den Musa, menantu dari keluarga pemilik pabrik dimana Sinur bekerja. Perhatian ini lambat laun membuat Sinur merasa bahagia. Benih-benih rasa yang seharusnya tidak muncul karena Den Musa sudah menikah, tak bisa ia tahan lagi.

Kondisi Indonesia usai Proklamasi masih menyisakan ontran-ontran yang disebabkan oleh Belanda yang menurut kabar akan datang lagi dan kembali menjajah. Para pemuda yang mudah disulut emosinya mulai membuat huru-hara. Pabrik-pabrik batik mulai kesulitan mendapatkan bahan-bahan untuk batik. Hampir semua pabrik terdampak, termasuk pabrik dimana Sinur bekerja.

Tidak hanya pabrik yang porak poranda, tapi juga dua hati anak manusia yang benih-benihnya baru saja muncul. Isu tak sedap melanda Sinur. Tak ada jalan lain untuk menyelamatkan Sinur selain pernikahan. Kang Lanang, pemuda yang sudah lama menaruh ahti pada Sinur, bersedia duduk bersanding dengan Sinur.

Bab ketiga cerita kembali ke masa kini dimana Awie kembali dengan rasa penasarannya pada megamendung di lemari embahnya. Ia sempat menemukan batik dengan motif dan warna yang sangat mirip di sebuah showroom batik. Apakah ada hubungan di antara kedua batik megamendung kembar ini?

*****

Novel ini penuh dengan detil seputar batik. Banyak sekali istilah-istlah batik yang disebutkan disini. Dari ngerengreng, nglorod, ngisen, ngeblok, dll. Belum lagi macam-macam canting: cecek tiga, cecek lima, cecwk tujuh. Begitu juga dengan motif batik yang buat saya kurang begitu akrab. Motif megamendung yang menjadi judul novel ini pun memiliki kekhasan masing-masing tergantung dari gradasinya. Yang membuat Awie penasaran adalah gradasi sembilan seperti yang dimiliki Embah dan batik yang dipajang di sebuah showroom. 

Novel ini juga sarat akan istilah Cirebonan, dari dialek bahasa sehari-seharinya, tempat-tempatnya (yang membuat kangen karena dulu saya sering sekali berkunjung ke Cirebon dan keluyuran tak jelas dwngan naik sepeda). Makanan khas Cirebon seperti kue serabi membuat lidah saya juga ingin mencicip. 

Karena di bab dua penulis membawa pembaca ke tahun 1948, maka sangat terasa kehidupan tahun-tahun setelah kemerdekaan. Perbedaan status sangat terasa. Sinur yang buruh, dan Den Musa yang anak mantu dari pemilik pabrik batik, tentu tak sepadan dan tak patut jika mereka saling suka. Ekonomi sulit, politik yang belum stabil membuat sebagian orang menjadi cepat naik darah.

Saya cukup menikmati novel ini, terutama di bagian batik. Paling tidak saya memiliki bayangan bahwa proses membatik itu cukup rumit dan memakan waktu lama. Yang tidak begitu saya nikmati adalah kisah tarik ulur Awie pada tetangganya, Is, dan kegalauan Sinur yang rasanya memakan banyak sekali halaman. Jika saja novel ini hanya berpusat pada batik dan rahasia di balik megamendung kembar itu tanpa terlalu banyak mengurusi kegalauan akan romansa, mungkin saya bisa membulatkan bintang menjadi 4. Tapi secara keseluruhan buku sangat saya rekomendasikan buat pecinta batik atau yang ingin tahu seputar batik.

0 Response to "Megamendung Kembar by Retni S.B"

Post a Comment

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel