Sesi Patjar merah bersama Penerbit
Gowes en insta setori duluuuuuuuuu |
Acara ini menjadi acara terakhir yang saya ikuti di festival literasi kecil patjar merah. Sebagai pembaca buku, terkadang saya kepo juga mengapa harga buku dari penerbit buku ini jauh lebih mahal dibandingkan dari penerbit itu. Hmmm... Sebenarnya, saya yang merasa harga makin lama mahal. Alternatifnya ya mengunduh aplikasi baca buku digital resmi, pinjam atau nunggu diskonan π π π
Dalam sesi ini, acara dipandu oleh Irwan Badjang penyair yang sayangnya belum pernah saya baca bukunya π€. Kelima wakil dari 5 penerbit yang menjadi tamu adalah Ratih Hernandez dari Penerbit Mojok, Lia Indra Andriana dari Penerbit Haru, Ronny Agustinus dari Marjin Kiri, Yusi Avianto Pareanom dari Penerbit Banana dan Indra dari Penerbit Narasi. Mereka masing-masing menceritakan awal mula dan suka duka perjalanan mereka bersama penerbit yang rata-rata mereka dirikan sendiri.
Dari kiri: Irwan Badjang, Indra, Yusi Avianto, Ronny Agustinus, Lia Indra, Ratih Hernandez |
Penerbit Haru
Mari kita mulai dari penerbit kesayangan remaja pencinta drama Korea, Haru. Penerbit novel-novel Asia ini didirikan oleh Lia Indra bersama kakaknya, Andri Setiawan tahun 2011. Lia mengaku bahwa awal mendirikan penerbit ini karena kecintaannya pada drama Korea yang ia tonton selama ini. Ia berpikir jika ada novel Korea terjemahan yang beredar di Indonesia, mungkin akan sangat menarik. Tapi ternyata tidak ada penerbit yang menerbitkan buku-buku Korea. Maka Lia pun berinisiatif mencari novel Korea yang menarik. Kendala bahasa juga sempat menjadi rintangan Lia untuk langsung menerbitkan Novel dari negeri ginseng ini. Berbekal Google translate dan bantuan temannya, Lia menemukan novel-novel yang bisa ia beli lisensinya dan diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia.
"Seperti membeli kucing dalam karung," kata Lia yang tidak tahu apakah Novel pilihannya ini akan laris di pasar. Selama 9 tahun ini, ternyata kucing itu jenis kucing cantik yang laris di pasaran. Dari Novel Korea, Haru beranjak ke literatur Jepang dan Taiwan. Novel Taiwan, You are the Apple of My Eye memiliki cerita yang panjang ketika ia harus menemukan penerbit dan penerjemahnya. Lia butuh waktu satu tahun untuk mulai mencari lisensi dari penerbitnya hingga rilis ke pasaran. Hihihi... Padahal saya sudah nonton film You Are the Apple of My Eye versi Taiwan entah berapa tahun yang lalu. Ngga nyangka, perjuangan untuk menerbitkan satu buku butuh segitu lamanya.
Mbak Lia Indra yang pegang mik |
Penerbit Mojok
Banyak orang mengira bahwa penerbit ini sebelas dua belas dengan situs Mojok.co. Menurut Ratih, itu sama sekali tidak benar. Menurut saya sih, yah, penerbit ini ya berangkat dari kepopuleran situs nakal Mojok dot co. Tapi menurut saya pasti ngga penting. Apalah saya ini... π€£ Usia 3 tahun bagi penerbit satu ini terhitung masih sangat muda, tapi buku-buku terbitannya sudah lumayan bisa memenuhi rak bukumu. Beberapa nama penulis yang saya kenal adalah penulis situs Mojok dot co seperti Puthut EA, yang pernah saya baca bukunya, baik pinjam ataupun beli. Bagi yang ingin menerbitkan bukunya di penerbit satu ini, kayaknya wajib memiliki naskah dengan syarat muda dan segar. Sayangnya, saya yang ngga bisa diam selama acara, kurang begitu menyimak detail dari syarat muda dan segar ini. Yang saya ingat adalah, jika kamu ingin menulis tentang sejarah, kamu harus bisa melihat dan menulis dari sudut yang berbeda dan kemudian mengemasnya ke dalam tulisan yang segar. Duh, boro-boro baca buku sejarah saja mata saya sudah kriyip-kriyip. Tapi jika tulisan itu masih satu tipe dengan tulisan-tulisan di Mojok dot co, mungkin saya akan bisa menikmatinya meski tidak sekali duduk.
Penerbit Marjin Kiri
Ronny Agustinus saya kenal sebagai penerjemah buku-buku non bahasa Inggris, seperti bahasa Spanyol yang kebetulan saya pernah membaca salah satu dari buku terjemahannya, The House of The Spirits. Tahun 1999, selepas jatuhnya rezim Orde Baru, kebebasan menjadi milik semua orang termasuk dunia jurnalistik. Tak terkecuali Ronny muda waktu itu yang mulai merintis penerbit buku-buku kritis cenderung kiri dengan nama yang sesuai yaitu Marjin Kiri. Terus terang, saya bukan pembaca buku terbitan Marjin Kiri, terlalu berat buat otak teflon saya ππ. Mendengar keterangan tentang buku-buku yang diterbitkan yang sebagian besar adalah non fiksi ini membuat hati dan otak saya gentar karena buku non fiksi itu bisa jadi adalah hasil desertasi yang telah mengalami banyak penelitian bahkan 'pembantaian' demi mendapatkan mutu tulisan yang sempurna. Sebenarnya, tidak semua buku yang diterbitkan Marjin Kiri ini berupa non fiksi tapi ada juga sastra terjemahan. Sekali lagi buat saya pembaca fiksi, sastra yang diterbitkan oleh penerbit ini juga jauh dari jangkauan bacaan saya.. #pukpukotak
Penerbit Banana
Paman Yusi di sesi kelas Mencuri Hati Pembaca Lewat Karakter Memikat |
Terus terang, saya cukup kepo dengan pemilihan nama penerbitnya. Adakah hubungan antara buku dengan pisang π? Sayangnya, saya kemarin saya kok ngga nanya di sesi tanya jawab π€£π€£π€£. Yusi Avianto Pareanom menjadi wakil dari penerbit ini di acara patjar merah kemarin. Saya mengenal nama Yusi tentu dari dua buku yang saya baca sebelumnya, Muslihat Musang Emas dan Raden Mandasia si Pencuri Daging Sapi. Dua buku itu membuat saya yakin untuk akan mengikuti buku-buku karya Yusi Avianto yang akan datang. Penerbit ini berdiri di tahun 2005 dengan Yusi sebagai pandeganya. Sebagai penerbit yang berusia lebih dari 10 tahun ini, tentu saja mengalami jatuh bangun di awal berdirinya. Naskah yang masuk pun sudah banyak dan membutuhkan seleksi ketat. Yang ingin mengirimkan naskah bukunya, syaratnya gampang, apakah buku karyamu bisa membuat seorang Yusi bertahan membaca untuk minimal satu kali duduk. Menjadi penerbit, penerbit apapun, resiko buku tidak laku adalah mimpi buruk. Jadi, jika kau menjadi penerbit, apakah kau mau membeli dan membaca buku-buku itu? Standar yang sangat gampang sekaligus menantang, di saat bersamaan membuat saya minder... π€£
Penerbit Narasi
Terus terang, buku-buku dari Penerbit Narasi ini bukan termasuk ranah genre yang saya baca. Genre seperti sosial politik, sosial budaya, fiksi sejarah, dan tipe yang menurut saya berat lainnya adalah buku-buku terbitan Narasi. Indra, sebagai wakil dari Penerbit Narasi menjelaskan, buku-buku pilihan penerbit ini adalah buku-buku yang menyenangkan, dalam arti membuat si pembaca senang, puas, dan masih akan dicari oleh banyak orang 5 tahun atau lebih yang akan datang. Membaca buku berat isinya, jelas membuat saya bangga, tapi mungkin kurang senang, kebanyakan mikirnya πππ
Suasana ramai di festival literasi kecil patjar merah |
Suka-Duka Penerbit Rumahan
Banana, Marjin Kiri dan Narasi mengisahkan betapa mereka mengalami jatuh bangun yang sangat menyakitkan di awal berdirinya. Semula, mereka menitipkan buku-buku terbitan mereka di toko buku yang sekaligus memiliki penerbit besar di hampir setiap kota besar. Namun ternyata, bayangan manis mereka tidak sesuai bayangan. Banyaknya buku-buku yang dikembalikan membuat mereka mengatur ulang siasat penjualan. Mereka ingin menunjukkan, betapa tanpa menitipkan di toko besar itu mereka tetap bisa hidup. Dengan bantuan media sosial, reseller yang kompetitif, pameran buku di berbagai belahan kota, bincang buku serta acara serupa patjar merah tetap membuat mereka berdiri tegak di tengah panasnya persaingan penerbitan.
Beda cerita dengan Penerbit Haru yang semakin tahun justru beranak pinak Sub divisinya (imprint). Setelah cukup eksis dengan buku-buku terjemahan Asia, Haru juga memberi kesempatan pada penulis lokal untuk mengirimkan naskah mereka di penerbit Inari, novel-novel Barat di penerbit Spring dan buku digital di penerbit Koru bagi penulis Indonesia yang ingin menerbitkan bukunya dalam format digital. Lah, padahal saya nunggu semua buku terbitan Haru ini tersedia dalam format digital loh, minimal Play Book. Atau kalo ingin menyaingi aplikasi Gramedia Digital, saya rela untuk menghapus beberapa aplikasi lain di tablet dan membayar sejumlah biaya untuk berlangganan. Mbok plis, dipertimbangkan lah, Mbak Lia πππ
Yah, sekian dulu lah ocehan saya yang sebenarnya bisa lebih berbobot kalo saya lebih nyimak para pembicara, sayangnya saya sesekali ngobrol dengan teman sebelah saya, rumpi-rumpi si penerbit ini tu bukunya mahal, si penerbit itu malah ngga pernah ada diskon, bla bla rumpian ngga penting lainnya wkwkwkwk...
Terima kasih Patjar Merah untuk acara kerennya, terima kasih juga untuk para panitia yang memilih Semarang sebagai tempat acara. Semoga lain kali si patjar merah ini sudi kembali singgah ke kota kelahiran saya yang panas ini.
Hahaha. Malah ngrumpii yoo mba. XD
ReplyDeleteAku ki yo heran kenapa haru nggak bikin ebook yg bundling gitu macem gramedia digital. Tp mungkin mereka nyasar ke pasar pembaca buku fisik. Jadi ditunggu aja sampe ada keinginan buat bikin ebook lebih membumi. Wekeke
apiiik...
ReplyDelete