Journal of Terror – Titisan
Ebook Gramedia Digital 352 pages
Published March 12, 2020 by Penerbit Clover
Rating 4,5/5
Pengalaman membaca Journal of Terror terulang lagi. Buku dua
ini kembali sukses membuat saya ketakutan setengah mati. Di buku pertama,
Journal of Terror—Kembar, saya selalu menghindari membaca jelang malam hari. Jelang
Maghrib, saya lebih memilih berhenti sejenak. Untuk menghindari mimpi buruk
hahaha… Dan kejadian yang sama terulang lagi di buku ini, dengan menghindari
melihat ilustrasi yang terdapat di setiap pergantian bab. Cantik nan indah,
memang, tapi tetap saja di beberapa detilnya terasa menyeramkan.
Buku kedua ini focus pada kisah Sukma, kembaran Prana. Meski
dikatakan kembar, mereka tidak kembar seperti yang sering dipahami banyak
orang. Jika Prana dulu tidak terlahir sebagai anak indigo, Sukma sepertinya
memang sudah istimewa sejak kelahirannya. Tanggal lahirnya bertepatan dengan
peristiwa bencana besar di Aceh. Di saat banyak orang dirundung kesedihan,
Sukma lahir disambut suka cita, terutama sang Mama. Kondisi keluarga yang
kurang harmonis membuat Sukma jauh lebih dekat dengan sang Mama. Sayangnya sang
Mama tak berumur panjang.
Sebagai anak indigo, dibandingkan Prana, Sukma terlihat
lebih ceria, meski ia memiliki masalah pribadi keluarga dengan sang ayah. Sukma
memliki geng di sekolahnya yang saling memperhatikan satu sama lain. Terlebih hadirnya
mas Damar, cowok albino tetangganya yang buta mata fisiknya, tapi terbuka mata
batinnya. Hari-hari yang dilalui Sukma tak terlalu terasa suram.
Buku ini terbagi dalam beberapa kisah mencekam. Setelah Para
Penjemput- para malaikat penjemput nyawa, muncul kisah tentang Palasik—makhluk pemakan
jiwa-jiwa bayi, bahkan yang amsih dalam kandungan. Sebenarnya saya kurang
memahami mengapa seseorang harus memelihara makhluk ini. Apakah Palasik ini
menghadirkan umur panjang, atau harta tak terhingga, atau kehormatan besar dari
sekitar? Hmmmmm… harus Googling mungkin ya…
Jika dibandingkan kisah terror selanjutnya, sepertinya
Palasik ini yang paling memberi saya ketakutan ekstra. Kisah selanjutnya
tentang keluarga pemakan harta yang tidak sah. Kehadiran para roh yang
menyertai seseorang ketika ia hilir mudik, terasa cukup mencekam. Bias dibayangkan
jika kamu sendirian namun sebenarnya ada deretan roh yang menyertaimu
kemana-mana. Asalkan tidak sewakltu-waktu menampakkan diri saja sih hihihi….
kisah selanjutnya bergulir dari adegan terakhir ketika Sukma
bertemu sepupunya, Prana, di sebuah pertemuan keluarga besar. Di acara inilah,
takdir keduanya semakin jelas, tugas apa yang diemban di punggung mereka yang
berhubungan erat dengan kakek nenek moyang mereka.
Meski tak ingin kisah ini berakhir, di bagian penutup buku
dua ini terdapat epilog yang mengisahkan bagaimana kakek nenek Sukma dan Prana
bertemu dan bagaimana keduanya terhubung dengan alam astral dan nantinya akan
menurun pada cucu-cucu mereka.
Ketika mengakhiri buku pertama dulu, saya sudah membayangkan
bakal ada buku duanya. Tapi di akhir buku dua ini, si penulis, Bang Sweta
mengkonfirmasi bakal ada buku tiganya. Yup, tentu saja. Sukma dan Prana baru saja
menerima tugas dan barang pusaka peninggalan kakek nenek mereka. Saya bakal
antusias sekali menunggu buku ketiganya. Semoga lebih banyak aksi astral dan
tentu saja latar belakang hantu-hantu yang muncul dis ekitar mereka. Mengetahui
kisah para hantu itu terkadang membuat saya berpikir, bagaimana para hantu itu
bertahan sekian lama gentayangan sebelum urusan mereka diselesaikan oleh
orang-orang seperti Prana dan Sukma.
Peringatan: buat kalian pembaca yang memiliki kadar visual
yang tinggi, sebaiknya piker-pikir dulu membaca novel ini, terutama jika genre
horror bukan pilihan utama genre kalian.
0 Response to "Journal of Terror – Titisan"
Post a Comment